Dirjen KSDAE Ungkap Tata Kelola Ekologi Gunung Ciremai Melalui Mikrobiologi

“Beberapa tahun ini saya sudah mendengar soal formula mikrobiologi di gunung Ciremai yang telah ditemukan, diuji coba laboratorium, dan digunakan kelompok masyarakat di sana,” buka Wiratno, Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada rapat online siang tadi (3/6).

“Kawan-kawan Ciremai menyebutnya Pertanian Sehat. Dan hasilnya sangat menggembirakan. Oleh karenanya akan segera kami laporkan kepada Menteri LHK yang selanjutnya akan disampaikan kepada Pak Presiden,” kata Dirjen KSDAE.

“Dalam waktu dekat ini, saya akan blusukan ke sana”, tambahnya.

Dalam pertemuan daring itu, Kuswandono, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) mengatakan, “Gunung Ciremai punya 54 desa penyangga yang memiliki hubungan timbal balik ekosistem satu sama lain. Simbiosis ini bisa berupa interaksi yang saling menguntungkan, merugikan, atau tidak berpengaruh,” katanya.

San Andre Jatmiko, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Kuningan menambahkan, “Ketika perubahan terjadi pada struktur ekosistem, maka menjadi pangkal perubahan fungsi ekologisnya. Sehingga jasa (services) dan manfaat (benefits) yang tersedia pun mengalami perubahan. Semakin baik struktur ekosistemnya, maka fungsi ekologis, jasa dan manfaat ekosistemnya pun semakin meningkat”.

“Nah perubahan struktur ekosistem terjadi karena proses alami. Tapi juga oleh intervensi manusia. Di antaranya pengaruh sistem produksi berbasis lahan di berbagai bidang. Misalnya kehutanan, pertanian, industri, dan infrastruktur fisik. Semua itu berkontribusi terhadap perubahan struktur ekosistem,” katanya.

Pakde Padmo, anggota Gugus Tugas Multipihak (GTM) KSDAE yang juga pernah menjabat Kepala Balai TNGC menambahkan, “Perubahan struktur ekosistem tadi bisa mengubah jasa ekosistem. Oleh karena itu memulihkan ekosistem agar fungsi ekologis berjalan kembali harus dilakukan”.

Sementara itu Suryo Wiyono, doktor Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, “Sejak 2015 dilakukan identifikasi plasma nutfah bernilai penting TNGC, khususnya ‘mikroorganisme’ untuk formula pertumbuhan tanaman”.

“Ekplorasi mikroba telah menemukan berbagai potensi sumberdaya genetik pada tanah, serasah, akar, ranting, batang, daun, dan serangga mati”, tambahnya.

Idin Abidin, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) menambahkan, “Plant Growth Promoting Rhizhobacteria (PGPR) ditemukan dari tanah perakaran Bambu, Kaliandra, dan Sonokeling. Sementara bakteri antifrost ditemukan dari daun anggrek Vanda, Cantigi, Edelweis, Jamuju, dan Kemlandingan”.

“Formula Pertanian Sehat ini telah kami uji coba di lapangan. Ada 6 demplot di desa penyangga dengan 13 uji coba tanaman hutan dan pertanian,” tambah Idin.

“Hasilnya memuaskan bila dibandingkan dengan menggunakan pestisida. Hasil panen lebih banyak, modal lebih murah, dan tentu produk pertanian tersebut lebih sehat,” katanya.

Menanggapi paparan para Rimbawan tadi, Noer Fauzi Rahman, anggota GTM KSDAE mengungkapkan, “Saya sangat senang mendengarnya. Ini sangat perlu dan segera diterapkan masyarakat luas”.

Di penghujung acara, Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Ditjen KSDAE mengatakan, “Pencapaian dari gunung Ciremai ini akan kami sampaikan ke lembaga pangan dunia ‘Food and Agriculture Organization’ (FAO) agar bisa digunakan lebih luas lagi”.

#sobatCiremai, meski masih seru, diskusi ini mesti berakhir pukul 11 siang. Lantas bagaimana kelanjutannya?. Pantengin terus medsos gunung Ciremai ya.

[Teks & Foto © Tim Admin -BTNGC | 062020]

Ikuti Kami