Kebakaran yang terjadi di alam/hutan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor ini mempengaruhi ketersediaan dari unsur-unsur yang ada di segitiga api. Ada tiga faktor lingkungan yang biasa disebut “fire environment triangle”. yang mempengaruhi perilaku api yang menyebabkan kebakaran hutan, yaitu: bahan bakar, cuaca dan topografi (Roy, 2003).
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tiga faktor lingkungan tersebut maka akan dibahas satu persatu berikut ini.
1. Bahan Bakar
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahan bakar yang menyebabkan terjadinya kebakaran di hutan berasal dari vegetasi hutan baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Pada beberapa bagian hutan, bahkan ada kemungkinan batubara yang ada di bagian bawah hutan juga dapat menjadi bahan bakar potensial yang menyebabkan kebakaran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi suatu bahan bakar yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran di suatu areal, yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Jenis bahan bakar, bila dilihat dari jenisnya maka bahan bakar kebakaran yang ada di sekitar hutan dapat berupa rumput, semak ataupun potongan kayu.
- Kelembaban bahan bakar, adalah jumlah air yang terdapat di dalam bahan bakar yang dinyatakan dengan persentase kering bahan bakar tersebut. Kelembaban bahan bakar berpengaruh pada titik awal dari suatu bahan ketika mulai terbakar.
- 3. Kategori bakan bakar terdiri dari bahan bakar ringan dan bahan bakar berat. Bahan bakar ringan ini dapat secara cepat mengikuti kondisi lingkungan, sehingga secara cepat dapat terbakar dan menjadi abu. Bahan bakar ringan ini juga tidak membutuhkan waktu lama untuk terbakar. Contoh dari bahan bakar ringan adalah rumput dan semak. Sedangkan bahan bakar berat adalah bahan bakar yang membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi artinya membutuhkan waktu untuk menjadi kering ataupun menjadi lembab, contohnya adalah potongan kayu dan juga batang-batang pohon.
- Jumlah bahan bakar, yaitu jumlah ketersediaan bahan bakar di suatu area yang diukur dengan ton per hektar. Jumlah bahan bakar yang ada di suatu areal akan menentukan jumlah energi panas yang mungkin dihasilkan ketika terjadi kebakaran.
- Ketersediaan bahan bakar dapat dilihat baik secara horizontal maupun secaraa vertical dari suatu daerah. Bila dilihat secara horizontal maka bahan bakar terdiri dari bahan bakar seragam yaitu bahan bakar yang tersebar secara bersinambungan dalam suatu areal. Bahan bakar seragam ini dapat dijelaskan bahwa dalam satu area hanya ditumbuhi oleh satu jenis tumbuhan saja sehingga api dapat lebih mudah menjalar ketika terjadi kebakaran. Sedangkan bahan bakar tidak seragam adalah semua bahan bakar yang tersebar tidak seragam pada suatu areal atau telah ada penghalang antar bahan bakar baik berupa bebatuan ataupun jenis bahan bakar yang berbeda. Bila dilihat dari ketersediaan bahan bakar secara vertical maka bahan bakar terdiri dari bahan bakar dibawah permukaan (Ground Fuels) yaitu bahan bakar yang ada di bawah permukaan tanah seperti akar ataupun kayu yang tertanam. Bila bahan bakar jenis ini terbakar maka akan terjadi jenis kebakaran bawah tanah atau biasa disebut juga underground fire atau peat fire bila terjadi pada lahan gambut. Selanjutnya bahan bakar permukaan (Surface Fuels) yaitu semua material yang berada diatas permukaan tanah seperti daun, ranting, semak, tunggul kayu dll. Bila bahan bakar tipe ini terbakar maka akan menyebabkan terjadinya kebakaran permukaan (Surface fire), sedangkan bahan bakar lainya adalah bahan bakar tajuk (Aerial fuels) yaitu semua bahan bakar yang berada diatas kanopi hutan baik berupa cabang, daun ataupun ranting pohon. Bila bahan bakar jenis ini terbakar maka disebut sebagai crown fire, yang merupakan jenis kebakaran hutan yang sulit dikendalikan dan juga berbahaya.
Melihat pada ketersedian bahan bakar secara vertikal dan juga kejadian kebakarannya maka dampak dari kebakaran tersebut tentunya dapat dilihat dari keadaan vegetasi yang ada, sehingga dengan melihat pada keadaan vegetasi setelah terjadi kebakaran maka dapat diketahui jenis kebakaran apa yang pernah terjadi di areal tersebut.
2. Cuaca
Ada empat elemen cuaca yang mempengaruhi segi tiga api yang dapat menyebabkan kebakaran yaitu :
- Curah Hujan, merupakan faktor alam yang mempengaruhi kelembaban dari bahan bakar. Bahan bakar berat dapat mempertahankan kelembabannya lebih lama dibandingkan dengan bahan bakar ringan sehingga bahan bakar berat lebih sulit untuk terbakar.
- Angin, merupakan faktor alam yang menentukan tingkat dan perilaku api. Angin ini dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran karena dapat meningkatkan jumlah oksigen, mengarahkan dan mempengaruhi tingkat aliran api, mempengaruhi arah sebaran api dan percikan, dan menyebabkan kelembaban bahan bakar berkurang. Kecepatan angin mencapai titik maksimum pada saat tengah hari dan akan berkurang menjelang sore hari.
- Suhu udara, merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran di alam yang mempengaruhi tingkat kelembaban udara dan bahan bakar. Suhu udara yang panas melalui proses radiasi matahari dapat menyebabkan ranting ataupun bahan bakar ringan menjadi kering dan mudah terbakar sehingga suhu udara ini mempengaruhi kelembaban bahan bakar yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran
- Kelembaban udara relatif adalah persentase kandungan udara basah yang ada di suatu wilayah pada suhu tertentu. Jika kelembaban udara relatif tinggi berarti tingkat kelembaban bahan bakar juga tinggi, sehingga tingkat kelembaban udara mempengaruhi secara langsung tingkat kelembaban bahan bakar. Jika kelembaban udara relatif nilainya 80%, maka bahan bakar relatif sulit untuk terbakar. Kelembaban udara relatif ini akan meningkat pada malam hari sehingga kelembaban bahan bakar juga meningkat pada saat itu. Bila suhu meningkat maka kelembaban berkurang tetapi bila curah hujan meningkat maka kelembaban bahan bakar meningkat pula.
Hubungan antara kelembaban udara relatif, curah hujan, suhu udara dan angin memenuhi aturan berikut ini :
- Setiap penurunan suhu 200C maka kelembaban udara relatif meningkat dua kali lipat, tetapi bila suhu udara meningkat maka setiap 200C kelembaban udara relatif menurun satu setengah kalinya.
- Batas nilai kelembaban udara relatif yang menjadi penentu kebakaran adalah 30% artinya jika kelembaban udara relatif diatas 30% maka api tidak terlalu sulit untuk dikendalikan tetapi bila dibawah nilai 30% maka api sulit dikendalikan.
- Hubungan antara waktu dan kelembaban udara berlaku seiring dengan peningkatan suhu udara sehingga kelembaban udara mencapai nilai tertinggi saat pagi hari dan sore hari dan mencapai nilai terendah pada siang hari. Melihat pada hubungan antara faktor-faktor cuaca tadi, tengah hari merupakan waktu yang rawan terjadi kebakaran karena angin mencapai kecepatan maksimal, suhu udara mencapi titik tertinggi dan kelembaban udara mencapai titik terendah. Sedangkan waktu yang paling aman dari kemungkinan terjadinya kebakaran adalah antara jam 2 dini hari hingga jam 6 pagi karena kelembaban udara tinggi, kecepatan angin rendah dan suhu rendah.
- Ketika kelembaban bahan bakar dibawah 5%, maka kebakaran yang terjadi pada bahan bakar ringan dan bahan bakar berat akan menyebar secara merata, ketika kelembaban diantara 5% hingga 15%, maka api yang berasal dari bahan bakar ringan akan menyebar lebih cepat dibandingkan dengan api yang ada di bahan bakar berat. Pada kelembaban bahan bakar diatas 15%, maka api yang berasal dari bahan bakar berat akan tetap menyala dan menyebar sedangkan api yang berasal dari bahan bakar ringan akan mati.
- Tingkat sebaran kebakaran pada areal yang kurang padat akan meningkat dua kali ketika kecepatan angin meningkat sebesar 4 meter per detik, ketika kebakaran terjadi pada padang rumput maka kecepatan penyebarannya akan lebih cepat lagi tetapi pada kebakaran yang terjadi pada bahan bakar berat maka kecepatan angin tidak terlalu banyak mempengaruhi.
3. Topographi
Kondisi suatu daerah sangat mempengaruhi kebakaran yang terjadi di suatu areal. Topografi suatu daerah mempengaruhi bagaimana api akan terbentuk, arah, tingkat dan sebaran api serta bagaimana proses rambatan api tersebut terjadi. Istilah topografi dalam hal ini diartikan sebagai kondisi fisik suatu permukaan/areal, diantaranya informasi mengenai keadaan daerah apakah termasuk daerah landai, terjal ataupun keadaan fisik lainnya dari suatu areal. Ada beberapa hukum alam yang terjadi ketika kebakaran di suatu areal yang terkait dengan kemiringan suatu areal sebagai berikut:
- Arah dari suatu bukit menentukan keterbukaannya terhadap sinar matahari dan angin sehingga arah dari suatu lereng umumnya menentukan jumlah pemanasan yang didapatkannya dari matahari. Panas matahari selanjutnya mempengaruhi kelembaban dan juga tipe dari bahan bakar. Awal terjadinya pembakaran dan juga penyebaran api akan sangat mudah dan cepat pada lereng yang menghadap selatan dan barat laut karena lereng ini medapatkan sinar matahari dan panas bahan bakar yang lebih tinggi dengan kelembaban yang rendah dibandingkan dengan lereng yang menghadap utara dan timur. Demikian juga dengan angin dimana angin pada siang hari akan bertiup lebih kencang pada lereng yang menghadap selatan dan barat.
- Tingkat kemiringan lereng (slope) memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku api terutama dalam kecepatan rambatan dari api. Api akan terbakar dengan lebih cepat menaiki lereng dibandingkan dengan menuruni lereng. Pada lereng yang lebih curam, maka kebakaran akan terjadi lebih cepat. Hal ini disebabkan karena bahan bakar yang ada di lereng bagian atas menjadi lebih dekat dengan api akibat konveksi dan radiasi sehingga bahan bakar terbakar dengan lebih mudah. Hal lain yang harus diperhatikan mengenai lereng yang curam adalah kemungkinan bahan yang terbakar terguling menuruni lereng akibat perpindahan massa api.
- Posisi api (dasar, atas, tengah) di lereng bukit . Api yang dimulai dari bagian atas lereng bukit akan lebih cepat padam karena ketersediaan bahan bakar di bagian atas yang sudah semakin berkurang. Sedangkan api yang dimulai pada bagian bawah ataupun tengah dari suatu lereng akan lebih sulit untuk dikendalikan karena api akan bergerak lebih cepat dengan adanya proses konveksi dan radiasi yang didukung oleh ketersediaan bahan bakar yang ada. Ketinggian suatu tempat ini kaitannya dengan kebakaran dan posisi dimulainya api mempengaruhi suhu, curah hujan dan juga kelembaban yang keseluruhannya menentukan kelembaban bahan bakar dan ketersediaannya. Ketika ketinggian meningkat maka suhu akan menurun sedangkan curah hujan dan kelembaban akan meningkat sehingga kebakaran juga sebarannya akan menurun.
- Bentuk lembah, menentukan kejadian kebakaran dilihat dari faktor ketersediaan oksigen. Misalnya pada lembah berbentuk U maka bila api atau kebakaran berasal dari dasar lembah maka api akan bereaksi serupa dengan suatu kebakaran yang terjadi dalam tempat pembakaran kayu atau tempat bakar. Udara akan ditarik ke dalam dari dasar lembah dan mengakibatkan terjadinya aliran udara yang sangat kencang menaiki lereng. Aliran udara yang menaiki lereng ini akan mengakibatkan terjadinya penjalaran kebakaran yang cepat ke atas lembah dan terjadinya kebakaran yang besar. Sedangkan pada lembah yang menyempit dan curam maka kebakaran/api akan menjadi lebih mudah menjalar ke seberang lembah lainnya melalui proses radiasi dan juga perpindahan massa api/percikan-percikan api.
- Arah angin di perbukitan, angin yang berhembus di perbukitan selalu berubah setiap harinya karena adanya perubahan tekanan udara yang disebabkan oleh suhu udara yang juga berubah. Disebabkan karena angin ini menentukan arah rambatan api tentunya harus diperhatikan waktu dan bentuk dari suatu bukit bila terjadi kebakaran. Arah angin akan cenderung menuju ke puncak bukit pada pagi hari hingga siang hari sedangkan saat Matahari terbenam maka angin akan cenderung bergerak menuruni bukit.
DAFTAR PUSTAKA
Bleken, E., Mysterud, I. & Mysterud, I. (Eds.). (1997). Forest fire and environmental management: A technical report on forest fire as an ecological factor: Directorate for Fire & Explosion Prevention and Department of Biology, University of Oslo.
IRRI, & CCROM. (2009). Sistem Peringatan Dini untuk Manajemen Kebakaran di Kalimantan Tengah : Draft Panduan. Bogor: Columbia University and Institut Pertanian Bogor.
Lawson, B. D., & Armitage, O. B. (2008). Weather guide for the Canadian Forest Fire Danger Rating System. Edmonton, AB.
Randall, C. K. (2007). Fire in the Wildland-Urban Interface:Understanding Fire Behavior: University of Florida, Institute of Food and Agricultural Sciences (IFAS) and the USDA Forest Service, Southern Research Station, Southern Center for Wildland-Urban Interface Research and Information.
Roy, P. S. (2003). Forest Fire and Degradation Assessment Using Satellite Remote Sensing and Geographic Information System In Satellite Remote Sensing and GIS Applications in Agricultural Meteorology (pp. 361-400).
Ryan, K. C. (2002). Dynamic Interactions between Forest Structure and Fire Behavior in Boreal Ecosystems. Silva Fennica 36(1), 13–39.
Sudibyakto. (2003). Anomali Iklim dan Mitigasi Kebakaran Hutan di Indonesia.Majalah Geografi Indonesia, 17(1), 10.
Tacconi, L. (2003). Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan: CIFOR Occasional Paper