Sejarah Taman Nasional Gunung Ciremai
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi Jawa Barat, berdiri soliter dengan puncak tertinggi 3078 mdpl , berbatasan dengan tiga kabupaten yaitu kabupaten Kuningan, kabupaten Cirebon dan kabupaten Majalengka. Perubahan kawasan hutan gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober Tahun 2004, berdasarkan usulan dari Pemerintah Kabupaten Kabupaten Kuningan dan Majalengka.
Dalam perjalanan sejarahnyanya tutupan hutan gunung Ciremai telah beberapa kali mengalami perubahan fungsi dari mulai zaman kolonial Belanda hingga sekarang dengan kronologis sebagai berikut :
- Zaman kolonial belanda kawasan hutan Gunung Ciremai pertama kali ditunjuk menjadi Hutan Lindung berdasarkan surat keputusan (GB) tanggal 22 September 1930, yang ditata batas dengan proses verbal pada tahun 1939 dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941.
- Kawasan hutan Gunung Ciremai ditunjuk menjadi Hutan Produksi wilayah kerja Unit Produksi (Unit III) Perusahaan Umum Perhutani Jawa Barat melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 143/Kpts/Um/3/1978 pada tanggal 10 Maret 1978
- Pada tahun 2003, sebagian Kelompok Hutan Produksi Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka yang pengelolaannya pada waktu itu oleh Perum Perhutani melalui KPH Kuningan dan KPH Majalengka ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No :195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat seluas ±603 ha.
- Pada tanggal 26 Juli 2004, Bupati Kuningan menyampaikan usulan melalui surat Nomor 522/1480/Dishutbun perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam”.
- Surat Bupati Kuningan kepada Ketua DPRD Kab. Kuningan melalui suratnya Nomor 522.6/1653/Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”.
- Surat DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 661/266/DPRD perihal dukungan atas usulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam.
- Bupati Majalengka memberikan usulan melalui surat Nomor 522/2394/Hutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Usulan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”.
- Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas ±15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka telah ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
- Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3684/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Ciremai Seluas 14.841,30 Hektar di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat
Struktur Organisasi
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dalam pengelolaannya dipimpin oleh seorang Kepala Balai selaku Administratur dan dibantu oleh tiga pejabat struktural selaku pengawas diantaranya :
- Kepala Sub Bagian Tata Usaha
- Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Kuningan
- Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Majalengka
Pada tahun 2016 Balai TNGC melakukan terobosan perubahan struktur organisasi pengelolaan kawasan khususnya pada resor wilayah berubah menjadi resor tematik melalui keputusan Kepala Balai TNGC Nomor SK.74/BTNGC/2016 tanggal 27 April 2016 tentang Pembentukan Nama Resor, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Resor Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan keputusan tersebut TNGC dibagi kewilayahan secara tematik menjadi 3 resor, yaitu :
- Resor Perlindungan dan Pengamanan Hutan : beranggotakan Polisi Kehutanan (Polhut)
- Resor Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem : beranggotakan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)
- Resor Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam : beranggotakan Penyuluh Kehutanan, Non Struktural, Polhut dan PEH yang memenuhi kriteria
Dalam hal pengelolaan kawasan, Balai TNGC selalu memperlakukan masyarakat sebagai subyek sekaligus menjadi tuan rumah di desanya sendiri dengan berpedoman pada tiga pilar pengelolaan yaitu kelola ekologi, kelola ekonomi dan kelola sosial budaya.