Penelitian secara ilmiah mengenai jenis ini dilakukan oleh Johan Coenrad van hasselt dan Henrich Kuhl Yang menangkap Elang Jawa di daerah Gunungfb Salak sekitar tahun 1820-an. Koleksi dua spesimen disumbangkan kepada Nationaal Natuurhistorisch Museum Leiden (Belanda). Sekitar tahun 1855-1860, H.A. Bernstein, seorang dokter kebangsaan Belanda, mendapatkan Elang Jawa di sekitar daerah Gadog, Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 1898, E.P Rillwitz mengkoleksi Elang Jawa dari Gunung Gede dan disimpan di American Museum of Natural History, New York (Amerika Serikat). Keempat spesimen ini diidentifikasikan sebagai Elang Brontok.
Memasuki abad ke-20,pengamatan dimulai oleh Max Bartels, seorang pecinta satwa yang bekerja diperkebunan Pasir Datar, dekat Sukabumi. Dia memperoleh seekor elang berjambul yang ditangkap oleh seorang penduduk dengan umpan seekor ayam di sekitar perkebunan Gunung Melati, Jawa Barat pada tanggal 30 april 1907. Awetan elang dikirim ke Jerman untuk diidentifikasi dan hasilnya bukan Spizaetus cirrhatus limnatus, akan tatapi mirip dengan Spizaetus kalaarti, jenis elang penghuni Srilangka. Finsch (1908) mendeskripsikan spesimen ini sebagai takson barn (anak jenis baru).
Usaha mengidentifikasi elang terus dilakukan dan pada tahun 1924, Prof. Dr. E. Stresemann, pakar burung dari Jerman, memperkenalkan anak jenis baru burung ini. Sebagai penghormatan kepada Max Bartels yang menemukan kembali elang ini di Pulau Jawa, dia menamakan elang ini dengan nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi. Stresemann berpendapat bahwa bentuk dan morphologi burung Elang Jawa mirip dengan Spizaetus nanus, karenanya lebih cocok dengan Spizaetus nanus bartelsi. Hampir 50 tahun kemudian, Elang Jwa yang dalam bahasa Inggris-nya disebutbJavan Hawkeagle, baru diberi status yang spesifik (jenis tersendiri) sebagai Spizaetus bartelsi oleh Amadon pada tahun 1953.
Pengamatan Elang Jawa di lapangan pada beberapa tahun lalu sangat jarang dilakukan. Hanya ada beberapa orang yang memberikan informasi mengenai Elang Jawa di alam pada pertengahan abad ke-20. Satu contoh untuk itu telah dilakukan oleh Andries Hoogerwerf, seorang ahli pengamat burung yang tinggal di Bogor, namun dia tidak pernah mengetahui keberadaan Elang Jawa di kawasan Gede-Pangrango dan sekitarnya. Hanya ada beberapa cerita mengenai Elang Jawa yang diinformasikan oleh keluarga Bartels mengenai Elang Jawa Keluarga Bartels yang tinggaldi perkebunan teh, satu di Pasir Datar (G. Gede-Pangrango) dan satu lagi di Kole Beres (G. Patuha). Max Bartels dan tiga putranya sering melakukan pengamatan di hutan dekat kedua perkebunannya, dan mereka melakukan pengamatan mengenai biologi perkembangbiakan, tingkah laku dan ekologi Elang Jawa.
Setelah kemerdekaan Indonesia, mungkin ada beberapa orang yang pernah melihat Elang Jawa tapi tidak pernah dipublikasikan. Informasi yang sama terbatas ini menimbulkan keyakinan burung ini masih sangat jarang dan diperkirakan hanya ada di kawasan pegunungan Jawa Barat. Pada tahun 1975, anak bungsu keluarga Bartels, yaitu Hans Bartels telah mengunjungi Meru Betiri dan dia menemukan Elang Jawa di daerah tersebut. Sampai awal tahun 1980-an, para ahli burung elang memperkirakan bahwa Elang Jawa merupakan burung pemangsa yang paling langka di dunia.
Sejak 1980-an, jenis burung elang ini lebih sering diamati dan satu diantaranya adalah Bas van Balen yang cukup intensif mengamati dan menyimpulkan data Elang Jawa. Dia pernah menceritakan bahwa pertama kali mengetahui Elang Jawa dari hasil rekaman suara burung selama melakukan pengamatan, ketika berkunjung ke Belanda, dia menanyakan suara yang sering didengar dan direkamnya kepada Hans Bartels. Hans Bartels memestikan bahwa rekaman suara tersebut merupakan suara Elang Jawa, dan kepastian suara tersebut sebagai Elang Jawa membawa keyakinan bahwa sebenarnya Bas sering mendengar dan melihatnya. (van Balen, 1991; van Balen & Meyburg, 1994; Meyburg dkk, 1989).
Pada tanggal 3 Januari 1993, Elang Jawa ditetapkan sebagai lambang satwa langka nasional dengan pertimbangan jenis ini memiliki populasi yang sangat jarang. Penelitian dalam waktu yang cukup lama khusus mengenai Elang Jawa telah dimulai pada tahun 1994 (Sozer & Nijam, 1995), dan didikuti oleh beberapa peneliti burung yang melakukan pengamatan Elang Jawa (Rov dkk, 1996; Sozer dkk, 1998). Ketertarikan dan kepedulian akan upaya penyelamatan dan pemulihan Elang Jawa mendorong dilakukan lokakarya di Meru Betiri pada akhir tahun 1997 yang menyepakati rencana pemulihan Elang Jawa dan tinjauan ulang program tindak lanjutnya pada lokakarya berikutnya di Bandung tahun 1999 dibawah koordinasi jaringan Kelompok Kerja Pelestarian Elang Jawa (KKPEJ). Jarinagn ini pula yang menjadi cikal bakal terbentuknya jaraing pengamat dan pemerhati elang yang lebih luas lagi, yaitu Raptor Indonesia.