Memandang gunung Ciremai dari arah Timur, Selatan dan Barat disaat cuaca cerah dengan langit biru antara jam 9 – 10 pagi, sungguh menghadirkan pemandangan yang menakjubkan. Hutan hujan tropis hijau keberi-biruan gagah berdiri menyundul langit. Tampak sangat lestari terlihat dari bawah hingga ke puncaknya.
Lain halnya bila memandang gunung Ciremai dari arah Utara. Panoramanya sedikit berbeda. Diantara hijaunya hutan hujan tropis, terdapat lekukan bukit-bukit sangat panjang kecoklatan. Itulah hamparan alang-alang dan semak belukar. Jalan Ula, area Cirendang, Sadarehe dsk adalah hamparan alang-alang dan semak belukar yang sangat miris dan rawan akan bencana kebakaran hutan.
Konon dahulu katanya hamparan alang-alang dan semak belukar itu adalah area hutan produksi dikala “Penguasa Hutan” masih berjaya. Area hutan produksi itu dulunya ditanami pohon Pinus (Pinus merkusii). Pinus itu ditanam untuk kemudian dipanen setelah cukup usianya dan ditanam kembali untuk ditebang lagi. Berulang-ulang begitu seterusnya terjadi.
Ada juga yang bilang bahwa area gundul tersebut tercipta akibat lahar dan lava ketika gunung ciremai mengamuk, muntah-muntah dan erupsi pada tahun yang belum diketahui.
Lalu entah karena apa sebabnya tiba-tiba area hutan produksi itu berubah menjadi hamparan gersang alang-alang dan semak belukar. Kegagalan penghijauan menjadi kambing hitamnya. Kegagalan penghijauan kembali di area hutan produksi tersebut melahirkan bencana kebakaran hutan yang menyengsarakan bagi petugas dan masyarakat sekitarnya.
Luas area alang-alang dan semak belukar itu mencapai 1/3 dari luas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Wow…luasnya!
Kini setelah gunung Ciremai menjadi Taman Nasional sejak tahun 2004 lalu, area Jalan Ula, area Cirendang, Sadarehe dsk masih tampak sama seperti sebelum gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Nah lho….
Bukannya tanpa ikhtiar, Balai TNGC sebagai kepanjangan tangan pemerintah telah dan terus berusaha mengembalikan area eks hutan produksi itu menjadi hutan seperti sedia kala. Program-program penanaman diluncurkan seperti RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan), Penanaman Swadaya dan Restorasi dengan bekerjasama dengan lembaga luar negeri pun dilakukan dengan luasan berhektar-hektar.
Sedikit demi sekidit program-program penanaman itu mulai menunjukan hasil meski masih belum begitu menggembirkan.
Dilapangan ada banyak sekali kendala yang menyulitkan proses pemulihan ekosistem. Kendala yang paling dominan yaitu bahwa area gundul tersebut tidak memilki lapisan tanah yang cukup untuk ditanami pohon. Hampir seluruhnya di area gundul itu adalah batu-batu saling menyambung seolah tanpa jeda dari lembah hingga bukti yang terlihat mustahil untuk ditanami!
Adapun proses penanaman yang selama ini dilakukan adalah di area gundul yang masih memiliki lapisan tanah.
2 tahun yang lalu hampir disetiap hari jumat diadakan penanaman swadaya oleh pegawai Balai TNGC. Hal ini seolah menjadi tradisi pada waktu itu. Memang jumlah bibit dan luas yang ditanam sangat sedikit berkisar puluhan bibit saja. Namun kegiatan kecil dan sederhana itu sanggup menyadarkan bahwa kita memang bekerja pada instansi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Semoga dalam tatanan organisasi yang baru ini, kegiatan yang demikian akan digalakan kembali.