Bagi Aang, warga dusun Palutungan, Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, profesi sebagai pemburu bukan merupakan suatu pilihan pekerjaan.
Namun karena keterbatasan kepemilikan lahan, lantas dengan penuh keterpaksaan pekerjaan itu menjadi alternatif tambahan penghasilan bagi keluarganya.
Kejar-kejaran dengan petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ia lakoni bertahun-tahun.
Rasa tidak nyaman, takut dari petugas, malu ketika tertangkap ketika melakukan perburuan satwa di gunung Ciremai.
Tapi itu dulu. Kini, Aang bersama 10 orang kawannya yang dulu sama-sama sebagai pemburu burung telah bergabung dalam kelompok “Porter” Arban. Mereka beralih profesi sebagai penyedia jasa “Porter” di jalur pendakian Palutungan.
Pekerjaan itu mereka dapatkan atas tawaran Balai TNGC untuk menjadi penyedia jasa layanan wisata alam.
Tawaran itu langsung disambut hangat oleh Aang dan kawan-kawan karena merasa dari kegiatan berburu tidak pernah mencukupi kebutuhan hidupnya meski mendapat banyak hasil buruan.
“Ada pergolakan batin saat menjadi pemburu. Itu pekerjaan yang kurang baik dan tidak ada berkahnya bagi alam dan diri saya “, ungkap Aang.
Alih profesi pun berjalan sekitar Februari 2015 hingga saat ini dan semoga seterusnya.
Idin Abidin, Kepala Resor saat itu mengatakan, “geliat wisata alam TNGC memang mempengaruhi sosial budaya masyarakat setempat sehingga menyebabkan alih profesi antar sektor”.
Dengan demikian, perburuan satwa gunung Ciremai diharapkan mampu ditekan lantaran masyarakat berbondong-bondong mengalihkan aktifitasnya ke sektor usaha jasa wisata alam.
Sekarang, Aang yang usianya memasuki 47 tahun merasa mendapatkan berkah dari profesi “Porter” pendakian Palutungan.
Sobat Ciremai, tugas “Porter” yakni membawa perlengkapan pendaki dari pos tiket hingga puncak gunung dan turun lagi. “Porter” juga biasanya memiliki pengetahuan pendakian dan keterampilan memasak yang bisa diandalkan.
Tarif “Porter” Aang cs yakni lima ratus ribu rupiah dalam sekali pendakian dengan durasi dua hari satu malam atau 36 jam.
Beban bawaan seorang “Porter” antara 25 hingga 30 kilogram yang di packing dalam tas ransel atau “carrier”.
Dalam sebulan, biasanya tidak kurang satu kali Aang mendapat orderan. Dengan uang yang diperolehnya itu sudah bisa membuat dapur ngebul.
Selain jasa “Porter”, Aang dan kawan-kawan juga punya jasa pertolongan bagi para pendaki yang mengalami cedera, hipotermia dan kendala lain ketika melakukan pendakian. Kegiatan ini oleh para pendaki di sebut “Ranger”.
“Ranger” Palutungan memiliki “sharing” pemasukan dari tiket masuk pendakian. Lima ribu rupiah Aang cs dapatkan dari selembar tiket pendakian.
“Sharing” pendapatan itu sah sesuai dengan kesepakatan Pengelola Pendakian Gunung Ciremai (PPGC) Palutungan.
Tiap bulan, tak kurang dari satu juta rupiah, seorang “Ranger” Palutungan mengantongi uang.
Tak hanya itu, Aang cs pula berjualan aneka makanan di Cigowong dengan keuntungan yang lumayan besar.
Penghasilan Aang cs dari kegiatan “Porter”, “Ranger” dan dagang bisa dikatakan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan hasil berburu satwa yang hanya seratus lima puluh ribu tiap bulannya. Itu pun bila dapat mangsa.
Sobat Ciremai, pengalaman Aang cs adalah pelajaran yang berharga agar kita bisa berubah ke arah yang lebih baik. Kita harus membiarkan satwa liar hidup bebas di alamnya.
Jika #sobatCiremai ingin mendaki tanpa beban, mari gunakan jasa Porter.
“Please contact”, Oyo, 082319629063 “and enjoy your adventure”.
[teks © Idin, foto © Ranger Palutungan-BTNGC | 092018]