Primata Malam Gunung Ciremai

IMG_20180921_123637_114

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) memiliki salah satu jenis primata yang sangat menggemaskan yaitu Kukang Jawa.

Kukang Jawa dalam bahasa ilmiah disebut “Nycticebus javanicus”. Sedangkan dalam istilah bahasa Sunda memiliki sebutan “muka”, “oces” dan “aeud”.

IMG_20180921_123637_117

Spesies ini dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 92 tahun 2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Kukang Jawa merupakan satwa primata primitif yang tidak berekor, bersifat “nokturnal” (aktif di malam hari, red), dan “arboreal” (tinggal di atas pohon, red).

IMG_20180921_123637_112

Spesies ini merupakan anggota “ordo Primates” dari “sub ordo Strepsirhine” atau “Prosimian” yang artinya pra atau sebelum “simian” atau primata primitif serta termasuk “genus Lorisidae”.

Ciri utama dari “sub ordo” ini adalah “nokturnal” dan “soliter”. Sebutan Kukang Jawa dalam bahasa Inggris yaitu “Javan Slow Loris” yang menunjukkan ciri unik lainnya yaitu bergerak sangat lambat dan pelan.

Di TNGC spesies ini sering di jumpai pada tipe “vegetasi” Kaliandra, peralihan antara hutan taman nasional dan kebun masyarakat, serta pada hutan pinus.

Hal ini karena ketersediaan jumlah jenis pakan Kukang Jawa seperti “nectar” bunga kaliandra, berbagai jenis serangga, buah kopi, buah pohon salam dan lain-lain.

Sobat Ciremai, satwa ini lebih banyak hidup sendirian. Sebagian besar waktu aktifitasnya banyak digunakan untuk makan.

Kukang Jawa sangat berguna dalam menjaga kelestarian keseimbangan ekosistem. Salah satunya sebagai hewan pemangsa serangga yang merupakan hama dari tanaman.

Selain itu juga membantu dalam proses perkawinan pada pohon yang sedang berbunga dan penyebaran jenis pohon melalui biji buah dari pohon yang dikonsumsi seperti biji buah salam.

Sobat Ciremai, di TNGC pada tahun 2017 telah dilaksanakan kegiatan pelepasan Kukang Jawa yang bekerja sama dengan organisasi IAR (International Animal Rescue).

Kegiatan itu terdiri dari proses “habituasi spesises”, pelepasliaran spesies dan monitoring pasca pelepasliaran. Jumlah spesies kukang yang dilepasliarkan pada saat itu mencapai 47 ekor.

Sobat Ciremai, bila berjumpa dengan satwa ini di hutan, sebaiknya menjauhinya. Meskipun sekilas terlihat jinak, tapi ternyata satwa ini memiliki racun pada kuku-kukunya.

Ayo sayangi satwa liar dengan membiarkan mereka hidup bebas di habitatnya.

[teks & foto © Andri Wahyu – BTNGC | 092018]

Ikuti Kami