Pernah aku alami tiga tahun lalu, hujan rintik tak berhenti sejak matahari terbenam sampai larut malam.
Seingatku, malam Jumat Kliwon itu tak gelap gulita karena petir tak pernah lelah memamerkan keahliannya bermain cahaya. Kilatan cahaya petir seakan membelah gelap malam sehingga lumayan menerangi jalur. Meski begitu, aku tak berhenti kaget karena kedatangan kilatan petir dibarengi suara gelegar geludug.
Akibat hujan itu, langkah kakiku amat berat menjejak setapak demi setapak licinnya jalur pendakian gunung Ciremai via Apuy, Argamukti, Argapura, Majalengka, Jawa Barat.
Dalam keadaan itu, aku menyesal mengikuti saran seorang pendaki yang menganjurkan pendakian malam hari. Sudah kena hujan, licin, terhalang kabut, dan tentu saja gelap.
Namun aku dan tiga sobat pendakian itu tetap nekad melanjutkan jalan kaki menuju pos yang direncanakan. Ya, kami sepakat berkemah di Goa Walet.
Detik demi detik lelah, letih, dan lesu ku rasakan dari setiap pos ke pos di atasnya.
Satu jam selepas pos Sanghyang Rangkah, rombonganku tiba di Simpang Apuy-Palutungan. Di sini aku duduk rehat sejenak di hamparan bebatuan sambil menenggak segelas kopi hangat.
“Nikmat sekali duduk santai begini”, kataku dalam hati. Mungkin saking enaknya, aku larut dalam lamunan. Pikiranku masuk ke alam bawah sadar.
Tiba-tiba aku tersadar karena ada lirih suara. “Ning nong neng gung, ning nong neng gung”, begitu suara itu mengalun.
Ku coba nikmati suara dendang ‘gamelan’ yang berulang-ulang itu. Namun lama-lama dendang gending yang tadinya lamat-lamat itu semakin jelas terdengar.
Sesaat kemudian bulu kudukku berdiri. Lalu merinding ini kurasakan menjalar ke sekujur tubuhku. Sekedip aku terheran, mataku melihat sekelilingku semuanya berwarna merah. Aku sangat bingung dan ketakutan.
“Hey jangan melamun!. Istighfar”, lantang salah satu sobatku sambil menepuk pundakku.
Aku tersadar bagaikan orang tidur yang diguyur air seember.
“Ayo jalan, tempat kemping sudah dekat”, ajak salah satu sobatku.
Sambil terhuyung ku ikuti langkah sobat-sobatku menuju tempat tujuanku. Tubuhku terasa amat berat seakan beban yang kubawa bertambah tiga kali lipat!.
Selepas ku selesaikan pendakian puncak Parahyangan 3.078 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, esok malamnya aku dan rombonganku tiba di Berod, pintu masuk pendakian.
Di sini kami ngobrol ‘ngalor-ngidul’ dengan petugas Balai Taman Nasioanal Gunung Ciremai (TNGC) dan Ranger Apuy. Aku bercerita pula pengalaman mistisku kemarin malam.
“Dilarang mendaki malam hari karena berbahaya. Kita bisa berebut oksigen dengan pepohonan”, ungkap petugas Balai TNGC yang enggan ditulis namanya.
“Juga dilarang berkemah di Goa Walet karena bisa mengganggu vegetasi Edelweiss”, tambah seorang Akang Ranger.
“Gunung bukan tempat sembarangan. Patuhi aturan. Kalau melanggar, bisa-bisa mengalami hal aneh”, pungkas seorang kakek yang matanya menyorot tajam ke arahku.
#sobatCiremai pernah mengalami hal mistis saat pendakian?. So, mari menjadi pendaki bijak, cerdas, dan patuh terhadap aturan yang berlaku.
[Teks © Kang Kabayan, Foto © IG @photographynusantara @chandraviar, Tim Admin-BTNGC | 122019]