.
Kita tahu di beberapa wilayah Indonesia kerap terjadi ‘bentrok’ manusia dengan satwa liar terutama di desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan. Misalnya konflik Gajah Sumatera dengan manusia.
.
Umumnya konflik tersebut terjadi akibat perubahan hutan menjadi kawasan produktif seperti pemukiman, pertanian, perkebunan, industri kehutanan serta perubahan fungsi dan status hutan.
.
Konflik satwa liar versus manusia selalu merugikan kedua pihak yang bertikai. Oleh karenanya, konflik tersebut merupakan permasalahan kompleks karena bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga satwa itu sendiri.
.
Di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) pun terjadi pertikaian antara petani dengan satwa liar, terutama Babi Hutan (Sus scrofa) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis).
.
Insiden penjarahan tanaman oleh Babi Hutan dan Monyet Ekor Panjang kerap terjadi di kebun warga yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional.
.
“Bila ditelusuri, konflik ini mencuat sejak gunung Ciremai menjadi taman nasional pada 2004,” kata Apo, Polisi Kehutanan (Polhut), Kepala Resor Perlindungan dan Pengamanan Hutan Balai TNGC.
.
Apo menjelaskan sebelum 2004, gunung Ciremai merupakan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan dan KPH Majalengka. Pada zaman itu terdapat tanaman tumpang sari dalam kawasan sehingga satwa liar bisa mencari makan di hutan.
.
“Namun saat TNGC berdiri, maka semua tumpang sari tak diperkenankan lagi karena tak sesuai dengan fungsi taman nasional. Nah sejak itulah satwa liar mencari makan ke kebun warga,” tambahnya.
.
Balai TNGC telah melakukan upaya mitigasi konflik berupa indentifikasi dan inventarisasi pada 15 desa penyangga. Kegiatan yang menggandeng Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat tersebut berlangsung 9 sampai 11 Juni 2020 di Kuningan dan Majalengka, Jawa Barat.
.
“Memang ada banyak pilihan untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi yang jelas, kami tidak bisa sendirian. Semua pihak terutama pemerintah daerah mesti ikut menanggulanginya,” kata Ade Karim, Polhut Balai Besar KSDA Jawa Barat.
.
Sementara itu Nasir, petani desa Bandorasa Kulon, Cilimus, Kuningan mengatakan gerombolan Babi, Monyet, dan Landak acap menyerbu kebunnya.
.
“Pada 2017, Balai TNGC pernah membuat pagar bambu supaya satwa tak ke sini. Tapi sekarang pagarnya sudah rusak. Mudah-mudahan segera diperbaiki,” kata Nasir.
.
Senada dengan Nasir, Iwan, salah satu Kepala Dusun di desa Sangiang, Banjaran, Majalengka mengatakan dirinya kerap menerima keluhan warga.
.
“Setiap menjelang panen, kebun warga diserbu Babi dan Monyet,” keluhnya.
.
Menurutnya, untuk mengatasi serbuan satwa liar, warga melakukan perondaan secara bergilir.
.
Agus Yudantara, Humas Balai TNGC mengatakan permasalahan konflik satwa liar dengan manusia tak boleh diselesaikan secara gegabah.
.
“Jangan main tembak saja. Sebab satwa juga punya nyawa, berhak hidup, dan punya peran penting dalam rantai makanan. Begitu juga manusia, punya hak untuk bertani dengan damai,” jelasnya.
.
“Jadi sambil menunggu kebijakan, kita atasi serbuan satwa liar dengan perondaan,” tutupnya.
.
#sobatCiremai, bisakah konflik satwa liar dengan manusia diselesaikan?. So, mari turut berperan aktif dalam upaya harmonisasi alam dan manusia.
.
[Teks © Tim Admin, Foto © Apo, Ade Karim, & Supomo -BTNGC | 062020]