Setelah Harimau Jawa (Panthera tigris sundaica) secara keilmuan dinyatakan punah pada tahun 2003, Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) merupakan satu-satunya jenis dari keluarga kucing besar yang masih hidup di Pulau Jawa meskipun statusnya di alam liar tidak menggembirakan, dimana IUCN menyebutkan bahwa status Macan tutul Jawa adalah kritis, yang artinya peluang untuk punah di alam sangat tinggi jika tidak segera dilakukan langkah-langkah penyelamatan terhadap spesies tersebut. Dengan ukuran tinggi antara 60-90 cm dan panjang tubuh 90-130 cm, Macan tutul mejadi obyek yang mudah terlihat dan rawan untuk diburu karena harganya yang mahal jika dijual di pasar gelap.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka penyelamatan jenis satwa liar di alam salah satunya adalah menerbitkan peraturan tentang perlindungan jenis flora dan satwa liar dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dimana Macan tutul Jawa masuk dalam jenis satwa yang dilindungi. Upaya lainnya adalah dengan menetapkan kawasan-kawasan hutan tertentu menjadi kawasan konservasi yang berupa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, dimana beberapa kawasan konservasi tersebut terutama yang terdapat di Pulau Jawa merupakan habitat dari Macan tutul Jawa yang salah satunya adalah kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan merupakan taman nasional ke-50 di Indonesia.
Macan tutul Jawa dengan nama ilmiah Panthera pardus melas merupakan sub spesies dari Macan tutul (Panthera pardus) yang merupakan endemik Jawa. Jenis tersebut merupakan bagian dari kelas mamalia dari keluarga Felidae. Meskipun di alam terdapat Macan tutul Jawa berwarna hitam yang sering disebut dengan Macan kumbang, individu tersebut merupakan jenis dan sub spesies yang sama dengan Macan tutul Jawa berwarna kuning. Warna hitam tersebut diduga merupakan evolusi gen untuk sistem pertahanan yang menyesuaikan dengan kondisi habitatnya. Dengan keendemikannya serta memiliki ikatan sejarah yang kuat, Macan tutul Jawa ditetapkan menjadi Satwa Identitas Provinsi Jawa Barat dan TNGC pun menjadikan jenis satwa tersebut menjadi identitas lembaga Balai TNGC yang terpampang pada lambang kebanggaan TNGC.
Namun berbeda dengan keberadaan Macan tutul Jawa di kawasan konservasi lainnya seperti di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah dapat didokumentasikan, dokumentasi keberadaan satwa tersebut di TNGC masih minim bahkan tidak ada. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010, TNGC telah melakukan beberapa kegiatan untuk mendapatkan dokumentasi Macan tutul tersebut, baik kegiatan yang dilaksanakan mandiri maupun bekerja sama dengan pihak lain. Namun kegiatan pada periode tersebut belum membuahkan hasil sampai akhirnya pada bulan Februari 2011 TNGC bersama Conservastion International-Indonesia (CI-Indonesia), melakukan kegiatan pengamatan bersama dimana CI-Indonesia memberikan bantuan pengadaan kamera jebak (camera trap) untuk dipasang di lokasi-lokasi yang diperkirakan merupakan habitat Macan tutul di wilayah TNGC bagian SPTN Wilayah I Kuningan, tanggal 10 Maret 2011 keberadaan Macan tutul Jawa berhasil didokumentasikan di wilayah kerja Resort Mandirancan pada ketinggian 1.000-1.200 m dpl disekitar hutan pegunungan TNGC.
Kerjasama TNGC dan CI-Indonesia berlanjut pada tahun 2012, dimana TNGC menambah jumlah kamera jebak baru untuk dipasang disetiap wilayah resort lingkup SPTN Wilayah I Kuningan yaitu Resort Mandirancan, Cilimus, Jalaksana, Cigugur dan Darma selain kamera jebak dari CI-Indonesia. Hasil yang didapat sungguh menggembirakan dengan terdokumentasikannya keberadaan Macan tutul Jawa di wilayah Resort Jalaksana serta satwa liar lainnya yang beberapa jenis diantaranya merupakan satwa endemik dan langka seperti Puyuh gongong Jawa (Arborophila javanica), Kijang (Muntiacus muntjak), Trenggiling (Manis javanica) serta Kukang Jawa (Nycticebus javanicus).
Kegiatan pengamatan dari Macan tutul Jawa pada tahun 2013 diperluas ke wilayah resort pengelolaan TNGC lingkup SPTN Wilayah II Majalengka dimana kegiatan pemasangan kamera jebak dimulai pada Januari 2013 dengan lokasi-lokasi di wilayah kerja Resort Sangiang, Argamukti, Argalingga serta Bantaragung. Dengan interval pemeriksaan kamera jebak minimal selama satu bulan, kamera jebak di wilayah Resort Argamukti berhasil mengabadikan keberadaan Macan tutul Jawa di Blok Gunung Pucuk pada ketinggian 1.916 m dpl, yang sangat besar kemungkinannya merupakan individu yang berbeda dari Macan tutul Jawa yang berada di wilayah Kuningan. Sampai dengan Maret 2013, Macan tutul Jawa yang terdokumentasi adalah yang berwarna kuning.
Hasil dari dokumentasi keberadaan Macan tutul Jawa memberikan harapan tentang kelestarian kucing besar terakhir di Jawa, dimana Balai TNGC sebagai pemangku kawasan harus dapat mengelola kawasannya dengan program-program yang tepat dalam menjaga kelestarian jenis Macan tutul Jawa serta kelestarian kawasan TNGC sebagai habitat satwa tersebut. Keberadaan Macan tutul Jawa sebagai pemangsa puncak dalam sebuah ekosistem, bertanda ekosistem tersebut masih dalam keadaan sehat. Jika sebuah ekosistem, dalam hal ini adalah kawasan TNGC dalam kondisi yang sehat maka fungsi dan manfaat dari kawasan TNGC sebagai sistem penyangga kehidupan yaitu sumber air utama bagi kehidupan masyarakat disekitarnya dapat tetap terjaga untuk mendukung kehidupan masyarakat yang berkualitas. (Robi Gumilang,S.Hut… PEH Pertama)