November 2008. Kabar mengejutkan datang dari Istana Negara, Jakarta. Pemerintah menetapkan KH Abdul Halim sebagai Pahlawan Nasional bersama dengan Bung Tomo dan Mohammad Natsir. Banyak pihak yang tak mengenal Abdul Halim. Siapa dia?
Namanya memang tak sekondang para pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, atau Natsir. Namun, jejak kepahlawanan KH Abdul Halim tak kalah panjang dengan mereka. Perhatikan baik-baik deretan nama anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di antara tokoh-tokoh pendiri bangsa, terselip nama Abdul Halim.
Abdul Halim lahir pada 26 Juni 1887 di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ia adalah putera bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya KH. Muhammad Iskandar, seorang penghulu Kewadenaan Jatiwangi, dan ibunya, Nyi Hj. Siti Mutmainnah.
Sejak kecil, pria bernama asli Otong Syatori itu telah mendapatkan pendidikan agama dari orangtuanya. Pada usia 10 tahun, ia telah belajar membaca Al-Qur’an. Setelah itu, ia mengembara mencari ilmu di berbagai pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga usianya mencapai 22 tahun. Gurunya yang pertama adalah KH Anwar, di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka. Ia kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Rata-rata, Abdul Halim bermukim antara satu sampai tiga tahun di setiap pesantren. Beberapa kiai yang pernah menjadi gurunya antara lain KH Abdullah (Pesantren Lontangjaya, Majalengka), KH Sijak (Pesantren Bobos, Cirebon), KH Ahmad Sobari (Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan), dan KH Agus (Pesantren Kedungwangi, Pekalongan).
Di sela-sela kesibukannya mencari ilmu, Abdul Halim menyempatkan diri berdagang dengan menjual batik, minyak wangi, dan buku-buku agama. Pengalaman dagangnya itu kelak memengaruhi langkah-langkahnya dalam memperbaiki sistem ekonomi masyarakat pribumi.
Setelah menimba ilmu agama dari banyak kiai lokal, Abdul Halim memutuskan untuk naik haji di usia 22 tahun. Kepergiannya tak semata buat menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga untuk mendalami ilmu agama. Di Mekkah, ia mulai bersentuhan dengan tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Di sana, ia berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat. Di Mekkah pula, ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Setelah dirasa memadai, Abdul Halim kembali ke Tanah Air pada 1911 M.
Ia pulang dengan membawa semangat dan tekad yang membara: melakukan perbaikan kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkannya, ia menempuh jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).
Sebuah lembaga pendidikan agama ia dirikan di atas tanah milik mertuanya, KH Muhammad Ilyas, pada 1911. Namanya: Majlis Ilmu. Lembaga itu bertempat di sebuah surau sangat sederhana yang terbuat dari bambu. Sehari-hari, Abdul Halim dibantu oleh mertuanya dalam memberikan pelajaran kepada para santrinya. Kian lama, aktivitas Majlis Ilmu semakin berkembang. Sebuah asrama berhasil dibangun sebagai tempat tinggal para santri.
Tahun 1912, ia mendirikan Hayatul Qulub. Lembaga itu bertujuan untuk mengembangkan ide pembaruan pendidikan, pengembangan sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, santri, pedagang, dan petani.
Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang yang disebut dengan Islah as-Samaniyah: islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Organisasi itu terus berkembang. Keberadaannya dapat memperbaiki keadaan masyarakat kecil. Itu membuat pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah mengutus polisi rahasia (Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi Abdul Halim dan organisasinya.
Tahun 1915, Hayatul Qulub dibubarkan. Penjajah Belanda menganggap organisasi tersebut menjadi penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan China). Meski dibubarkan, kegiatannya tetap berjalan.
Pada 16 Mei 1916, Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin. Itu dilakukan sebagai upaya untuk terus mengembangkan pendidikan. Ia bekerjasama dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Tapi organisasi itu dibubarkan pemerintah kolonial pada 1917. Pemerintah Belanda khawatir, organisasi itu dapat merongrong kewibawaan mereka.
Abdul Halim tak jera. Pada tahun itu juga, ia mendirikan Persyarikatan Ulama. HOS. Tjokroaminoto berperan besar terhadap pendiriannya. Organisasi itu diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 21 Desember 1917. Persyarikatan Ulama terus berkembang. Pada 1924, daerah operasi organisasi sampai ke seluruh Jawa dan Madura. Tahun 1937, menyebar ke seluruh Indonesia.
Agar organisasi terus berjalan, dibutuhkan dana yang memadai. Untuk itu, Abdul Halim mengembangkan usaha pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada 1927. Ia juga mendirikan percetakan pada 1930. Pada 1939 ia membangun perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya. Semua perusahaan itu berada di bawah pengawasannya.
Abdul Halim mewajibkan para guru menanam saham di perusahaan tersebut, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tujuannya, agar perusahaan tersebut berkembang pesat. Ia juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanita, Fatimiyah.
Ia juga mendirikan pesantren Santi Asromo di Majalengka pada April 1942. Itu dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada santri agar kelak hidup mandiri, tanpa harus tergantung pada orang lain, atau menjadi pegawai pemerintah.
Pergaulan Abdul Halim tak cuma di Jawa Barat. Ia juga berinteraksi dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Itu dilakukan agar gerakan dakwah yang dilakukannya dapat mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam dalam mengusir penjajah.
Pada 1942, ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam (PUI). Pada 1952, PUI melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Namanya menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.
Abdul Halim juga aktif berperan menentang pemerintahan kolonial. Pada 1912. ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH M Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.
Pada 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada 1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada 1955. Di kalangan kawan-kawannya, ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan.
Pada 1940, ia bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper di Jakarta, untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras didirikannya Negara Pasundan oleh Belanda pada 1948.
Abdul Halim terkenal cerdas dan kuat dalam memegang prinsip. Selain bahasa Arab, ia juga menguasai bahasa Belanda setelah belajar dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres), dan bahasa China — dari orang China yang bermukim di Mekkah. Ia juga pernah menolak keinginan orangtuanya yang memintanya menjadi pegawai negeri.
Melihat jejak sejarah yang ditinggalkannya, tak salah jika Abdul Halim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, meski namanya tak sekondang Bung Tomo dan Mohammad Natsir.
dari berbagai sumber