KUNINGAN, (PR).- Sebanyak 30 ekor kukang jawa (nycticebus javanicus) hasil penyitaan penegak hukum dilepasliarkan ke dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Ciremai, Kamis 11 Mei 2017. Prosesi pelepasan digelar di Blok Bintangot, Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan.
Pelepasliaran puluhan ekor hewan yang dilindungi undang-undang itu dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam wilayah Jawa Barat. Lembaga ini berkolaborasi dengan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
Ketua Umum Yayasan IAR Indonesia, Tantyo Bangun didampingi staf Media IAR Indonesia, Risanti menerangkan, 30 ekor kukang ini terdiri dari 18 ekor betina dan 12 jantan. “Puluhan kukang yang dilepasliarkan ini, merupakan hasil sitaan penegakan hukum. Dilakukan oleh Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Polda Jabar, dan Polres Majalengka,” kata Risanti.
Dokter hewan dari IAR Indonesia Wendi Prameswari menyebutkan, pada awal dititipkan oleh penegak hukum, kondisi 30 ekor kukang itu cukup mengkhawatirkan. Namun setelah dilakukan perawatan dan pemulihan di pusat rehabilitasi, perilaku dan kesehatannya bisa dipulihkan kembali. Sampai akhirnya dinilai mampu untuk menjalani kembali kehidupan alami di habitatnya.
Kukang dikenal dengan nama lokal ‘malu-malu’ atau di beberapa daerah di Jabar disebut masyarakat dengan julukan ‘muka’. Hewan ini merupakan primata nokturnal atau satwa yang aktif di malam hari. Kukang termasuk salah satu jenis satwa yang dilindungi oleh undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Terancam punah
Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature Red List, kukang jawa termasuk dalam katagori kritis atau terancam punah. Ancaman kepunahan tersebut datang karena kerusakan habitat, perburuan, dan perdagangan untuk pemeliharaan.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Bambang Hendroyono, berharap masyarakat turut aktif menjaga kelestarian habitat dari satwa yang dilindungi. Jika masyarakat menemukan perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan satwa-satwa tersebut, disarankan membantu menyelamatkannya.
Misalnya dengan cara melakukan pendekatan dan memberikan pengertian kepada orang bersangkutan. “Atau melaporkannya kepada para pihak terkait. Misalnya kepada BKSDA, Balai Taman Nasional, atau kepada pihak kepolisian,” ujar Bambang.
Sementara itu Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) Padmo Wiyoso menambahkan, untuk menyelamatkan satwa yang dilindungi undang-undang, semua pihak juga harus menjaga alam yang menjadi habitat mereka.
“Kelestiaran rumah-rumah mereka, seperti di antaranya kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai ini, harus dijaga dan dipelihara,” katanya.***