Oleh : Rezsa Yushardiansyah
Satu dari sekian banyak cerita suka dan duka ketika berpetualang merambah pesona alam dibumi indonesia ini memang seakan tiada hentinya untuk tak bosan diceritakan, cerita kali ini aku akan berbagi kisah dan pengalaman seputar pendakianku bersama seorang sahabat baik Rizal Hasrul Sidiq yang merupakan teman sekelasku sendiri dibangku perkuliahan. Meskipun disela-sela kesibukan kami sebagai seorang mahasiswa namun kami berkesempatan dalam liburan akhir pekan kali ini untuk mempersiapkan perjalanan pendakian kami menggapai atap tertinggi jawa barat, Puncak Sunan Mataram Gunung Ciremai yang memiliki ketinggian 3078mdpl (Meter diatas permukaan laut) ekspedisi perjalanan kali ini dilakukan hanya oleh kami berdua, dengan mengunakan jalur yang cukup populer dikalangan para pendaki sendiri yakni melalui jalur Linggardjati di daerah Kuningan Jawa Barat, Jalur ini dicap atau disebut-sebut sebagai medan yang paling sulit untuk menggapai puncak gunung Ciremai dan disebut-sebut juga sebagai Jalur paling terjal diantara gunung-gunung di pulau jawa, mengapa demikian sebab diantara banyaknya gunung-gunung di pulau jawa khusus jalur linggardjati ini titik awal pendakian akan dimulai dari desa linggardjati ketinggian 600mdpl, memang berbeda dengan jalur-jalur kebanyakan untuk pendakian gunung-gunung didaerah jawa yang kebanyakan memiliki titik awal pendakian sudah diatas ketinggian 1500mdpl, sehingga menggapai atap puncak gunung ciremai melalui desa Linggardjati ini jelas akan sedikit lebih menantang dibanding dua jalur lainnya yakni Jalur Palutungan dan Apuy di Majalengka, tak hanya itu kemiringan lintasan dan curamnya medan pendakian melalui desa linggardjati ini membuat tak jarang banyak pendaki yang tidak berhasil menggapai puncaknya, itu yang dituturkan oleh salah seorang penjaga pos pendakian linggardjati kang Opik ketika kami berbincang-bincang sejenak sebelum memulai pendakian, baik sebelumnya kita awali cerita kali ini di hari pertama sebelum keberangkatan kami,
Kamis 7 Februari 2013
Dirumahku Antapani Bandung, selepas kami membereskan semua rangkaian kegiatan rutinitas kami dan tentunya acara perkuliahan dihari itu, maka malam harinya kami mulai mengemas dan melakukan packing terhadap barang-barang yang akan dibawa untuk kebutuhan selama perjalanan nanti. Barang bawaan untuk standar Pendakian jelas wajib dan mutlak musti kami bawa dan tak lupa malam itu aku bersama kawanku Rizal yang kerap kusapa dengan panggilan hangat Ubi, sedikit membahas tentang manajement perjalanan dan manajement pendakian untuk kami nanti, maka malam itupun kami terlelap setelah packing perlengkapan usai.
Jum’at 8 Februari 2013
Selepas menunaikan ibadah sholat shubuh dan sarapan pagi, maka pukul 06.00 kami memulai keberangkatan kami menuju terminal Bus Cicaheum yang tak jauh dari rumahku kesana kami menggunakan jasa kedua tukang ojek untuk mengantar kami menuju terminal bus tersebut, sesampainya di Terminal, kami langsung memasukan barang bawaan kami di Bus yang akan mengantarkan kami menuju daerah Kuningan, disini kami menggunakan Bus Damri AC antar kota dengan tarif Rp.40.000, tak lama menunggu maka pukul 07.00 Bus pun mulai berangkat, Bus mulai beristirahat sejenak di daerah perbatasan antara kota Sumedang dan Majalengka, kemudian pada pukul 10.30 bus mulai berjalan kembali menuju daerah kota kuningan, dan pada pukul 01.00 kamipun tiba di Kota Kuningan Jawa Barat, karena kami sedang berada dalam perjalanan yang cukup jauh dan jika ditotal perjalanan kami dari Bandung menuju Kuningan ditempuh selama hampir kurang lebih 6jam lamanya, maka kami tak sempat untuk melakukan ibadah wajib Sholat Jum’at dan akan diganti dengan Sholat Dzuhur biasa selepas kami tiba nanti di Pos Pendakian Desa Linggardjati, Desa Linggardjati sendiri disebut-sebut sebagai desa yang sangat bersejarah di indonesia karena disini pernah diadakannya perundingan linggardjati pasca kemerdekaan silam, melanjutkan cerita setibanya kami dikota Kuningan kami langsung menggunakan kendaraan umum angkot yang mengantarkan kami langsung menuju Pos pendakian Linggardjati setelah membayar ongkos sedikit lebih kami tiba di Pos Pendakian pada pukul 01.35 siang kurang lebih, beristirahat sejenak sholat dzuhur dan memesan kopi hangat diwarung sambil mengobrol-ngobrol sebentar dengan kang Opik yang menjaga di Pos Pendakian, disini kang Opik mengabarkan berita yang cukup mengaggetkan dan secara terus terang dia menyampaikan ketika ia menunjukan surat edaran resmi dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai bahwa saat ini status gunung Ciremai tengah ditutup untuk kegiatan pendakian dikarenakan faktor kondisi dan cuaca yang masih tidak menentu hal ini guna untuk mencegah dan menghindari keadaan atau hal yang tidak diinginkan bagi para pendaki yang akan tetap melakukan pendakian, mengingat aku sendiripun sebelumnya sudah mendengar kabar dari beberapa media massa yang menyatakan bahwa status untuk gunung ciremai memang tengah ditutup untuk umum dikarenakan terjadinya kebakaran lahan hutan dibeberapa titik kawasan konservasi alam balai taman nasional gunung ciremai ditahun 2012 kemarin, namun setelah aku melihat informasi lagi gunung ini kembali dibuka pada sekitar pertengahan bulan Januari kemarin dan meskipun sempat kaget karena setibanya didesa Linggardjati ini ternyata status gunung ini sudah ditutup kembali mengingat ditahun kemarinpun disini sempat terjadi insiden kecelakaan yang menewaskan beberapa mahasiswa pendaki karena tertimpa pohon yang runtuh. Namun kang Opik tetap menyampaikan jika sekiranya tetap ingin melakukan pendakian maka dirinya tak akan melarang namun pihak penjaga Pos Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tidak akan bertanggungjawab terhadap segala kemungkinan resiko yang akan terjadi atau secara gamblang ditegaskan bahwa resiko ditanggung oleh para pendaki sendiri.
Hal ini jelas membuat kami gundah namun sore hari itu cuaca nampak cerah dan kang Opikpun mengabarkan bahwa memang beberapa hari ini cuaca di kaki gunung ciremai ini nampak cerah maka mudah2han perjalanan kami kali ini akan dimudahkan dan dilancarkan dan kamipun menegaskan bahwa kamipun tidak akan mengambil resiko untuk terus melanjutkan perjalanan sekiranya cuaca tidak memungkinkan. Maka setelah aku menitipkan KTP dan membayar Registrasi diiringi doa dan restu para warga dikaki gunung ciremai yang sangat hangat dan begitu ramah maka pukul 03.00 sore kami melakukan start awal pendakian dari Pos Pendakian Linggardjati
Pos Linggardjati – Pos 1 Cibunar
Pendakian dimulai dengan melintasi jalanan setapak dari aspal yang cukup panjang melintasi perkebunan warga, dan rumah-rumah penduduk yang mulai terlihat jarang dengan jalur yang langsung menanjak untuk memasuki pintu hutan dimana disini masih banyak terdapat sumber air karna disepanjang jalan ada selokan air bersih yang mengairi sawah dan perkebunan juga untuk kebutuhan air didesa warga kaki gunung ciremai, dan disinipun masih terdapat banyak warung-warung yang hanya buka dimusim pendakian saja setibanya kami di Pos 1 Cibunar kami singgah sejenak diwarung terakhir untuk menyapa sejenak seorang ibu yang dengan ramahnya mendoakan keselamatan untuk perjalanan kami nanti. Untuk persediaan perbekalan air selama pendakian, Pos Cibunar adalah pos terakhir yang masih terdapat sumber air sehingga untuk persiapan perbekalan air sebaiknya dilakukan disini karena disepanjang perjalanan nanti tidak akan lagi ditemukan sumber air.
Pos 1 Cibunar – Pos 2 Leweung Datar
Karena waktu sudah menunjukan pukul 03.30 sore disela perjalanan kami membuka matras dan menunaikan kewajiban mutlak kami untuk bersholat Ashar terlebih dahulu, dan setelah berdoa kepada rabb pengenggam alam semesta beserta jagad raya dan isinya ini kamipun memulai kembali perjalanan melintasi hutan pinus dengan pohon2nya yang begitu tinggi dan disela kesempatan disebuah tempat yang terbuka kami bisa menikmati panorama alam keindahan kota Kuningan dan Cirebon yang membentang tak lupa kami melakukan ritual wajib yakni berfoto untuk sebuah pembukaan terlebih dahulu. Jalanan berupa track jalan setapak dan berbatu dengan kontur tanah yang lembab, disini tanjakan masih cukup landai.
Pos 2 Leuweung Datar – Pos 3 Condang Amis
Setibanya kami di pos Leweung Datar yang ditandai hanya dengan berupa sebuah plang bertuliskan Leweung datar diantara salah satu pepohonan tinggi, maka kami terus melanjutkan perjalanan dengan kondisi disekeliling kami dipenuhi tanaman-tanaman yang rusak sepertinya terhantam oleh angin kencang atau mungkin oleh hewan liar dan banyaknya pohon-pohon tinggi yang rubuh yang menghalangi jalan yang menjadi sebuah pemandangan yang cukup menarik dan cukup membuat kami ingin segera meninggalkan tempat ini mengingat cukup hening juga karena disepanjang perjalanan ini hanya ada aku dan ubi kawanku saja. Disini track yang dilalui cukup landai sehingga kami mampu dapat sedikit bergerak lebih cepat hingga tiba di Pos Condang Amis.
Pos 3 Condang Amis – Pos 4 Kuburan Kuda
Setibanya kami di Pos Condang Amis kami beristirahat sejenak sambil menyeduh minuman dingin, dan menikmati belantara hutan rapat condang amis, di condang amis sendiri masih terdapat shelter pendakian yang berupa bangunan kokoh dengan plang peringatan ”Hentikan Pendakian Jika Cuaca Buruk” setelah beristirahat dan menghisap sebatang rokok kami berdua melanjutkan perjalanan karena hari nampaknya sudah semakin mulai gelap untuk menuju pos selanjutnya, Pos 4 Kuburan Kuda.
Pos 4 Kuburan Kuda (Camp)
Setelah beranjak dari condang amis track yang kami lalui masih berupa lintasan jalanan setapak membelah rimba yang masih begitu tertutup rapat dan kini track mulai menampakan keterjalannya dan terkadang terdengar suara kasak-kusuk dari samping kami seperti seekor hewan yang lari karena kedatangan kami ataupun terkadang kami melihat seekor monyet yang bergelantungan yang mengamati dan mengikuti kami dari jauh meskipun mereka nampaknya malu-malu, maka setelah cukup jauh kami berjalan suara adzan Maghribpun terdengar dan berkumadang maka ditengah perjalanan kami kembali membuka matras dan menunaikan ibadah sholat Maghrib berhiaskan suara kasak-kusuk diantara sela-sela pohon-pohon tinggi disekitar kami, setelah usai ketika hari mulai semakin gelap kamipun memasang headlamp untuk menerangi jalan kami dan jujur saja bagiku suasananya nampak cukup mencekam mengingat belantara rimba gunung ciremai saat ini hanya milik kami berdua. Setibanya kami di Pos Kuburan kuda yang dianggap sebagai tempat yang cukup keramat digunung ciremai karena tak jarang banyak pendaki yang mendengar jejak langkah derap kaki kuda disini dan konon menurut cerita para warga, di Pos ini merupakan tempat dikuburnya Kuda-kuda para pasukan tentara penjajah jepang, wew kami berduapun membongkar carrier dan memasang tenda disini dan tak jarang suara kasak-kusuk diantara pepohonan itupun seolah mendekati kami dan ketika kami sorot maka suara itupun menjauh, nampaknya itu masih monyet-monyet yang kembali bergelantungan dipohon-pohon tinggi yang terusik oleh kedatangan kami. Maka setelah usai memasang tenda kamipun beristirahat total dan memakan perbekalan untuk mengisi tenaga kemudian ketika waktu telah menunjukan pukul 07.30 kami segera menunaikan ibadah sholat isya dan langsung beristirahat untuk melanjutkan kembali perjalanan kami esok.
Sabtu 9 Februari 2013
Pos 4 Kuburan Kuda – Pos 5 Pengalap
Pukul 05.00 pagi kami langsung terbangun dan menunaikan ibadah sholat shubuh didalam tenda maka pukul 05.30 Ketika pagi menyapa nampaklah warna jingga merah terang menyinari rimba ini, sungguh indah meskipun terhalang rapatnya pohon-pohon hutan namun mentari pagi hari ini seolah mejadi sinar harapan untuku agar cuaca hari ini akan tetap cerah semoga saja. Setelah packing dan membereskan tenda ditemani suara – suara binatang didalam hutan ini, Pukul 06.00 Pagi, kamipun segera melanjutkan perjalan dan mengucapkan selamat tinggal pada pos kuburan kuda tempat kami menguji nyali dan mental kami masing-masing disini hehe, maka kini kamipun memulai kembali perjalanan dan kuanggap perjalanan awal ini sebagai olahraga pagi kami maka kini mulai memasuki lintasan track yang jelas semakin menampakan terjalnya yang mengantarkan kami menuju pos selanjutnya
Pos 5 Pengalap – Pos 6 Tanjakan Bin-Bin
Setibanya kami di Pos pengalap kira-kira pada pukul 08.30 pagi kami beristirahat sejenak ditemani mentari pagi yang bersinar terang, dan tanpa berlama-lama kamipun melanjutkan perjalan kami kembali dengan sudut lintasan yang mulai berubah dimana kami harus melintasi lintasan-lintasan yang terbentuk secara alami oleh akar-akar dari pohon tinggi sebagai tempat kami melangkah dan berpijak yang akan mengantarkan kami untuk menuju pos selanjutnya, tak jarang kamipun harus sedikit melakukan orientasi medan mengingat karena kondisi jalur disini nampak terbentuk secara alami oleh kontur geografis gunung ciremai.
Pos 6 Tanjakan Bin-bin – Pos 7 Tanjakan Seruni
Setibanya kami di Tanjakan Bin-bin kini kabutpun mulai turun dan menghampiri menutupi cerahnya sinar sang mentari, namun semua ini tak akan membuat kami terhenti, kami mulai berjalan perlahan karena kami anggap Tanjakan Bin-bin barulah awal dari trek pendakian yang sebenarnya setelah pos-pos sebelumnya kami anggap sebagai jalur pemanasan dan peregangan otot-otot kaki kami karena selepas tanjakan Bin-bin menuju tanjakan Seruni kami akan terus dihajar oleh tanjakan-tanjakan terjal tiada ampun yang bahkan terkadang kaki ini harus melangkah setinggi mungkin untuk memijakannya disalah satu ranting kokoh akar pohon untuk membantu pergelangan tangan ini berpegangan dan setahap demi setahap kami naiki tangga terjal kontur alami ini dan kamipun diantarkan untuk tiba hingga pos tanjakan seruni.
Pos 7 Tanjakan Seruni – Pos 8 Bapa Tere
Setelah tiba kami ditanjakan Seruni nampak langkah kaki ini sudah mulai melambat karena kelelahan dan fisik yang sudah mulai terbebani, dan bagi kami lintasan tanjakan seruni ini akan menjadi yang paling melelahkan diantara perjalan kami di pos-pos sebelumnya karena tanjakan terjal tiada ampun harus kami tempuh dengan sudut kemiringan yang semakin meningkat dibandingkan lintasan sebelumnya di Tanjakan Bin-bin, bahkan disini kami terkadang harus melintasi celah-celah retakan dinding tanah berbatu ataupun jalur-jalur bekas longsoran pohon-pohon hutan untuk menaiki tangga-tangga alami yang begitu terjal ini juga tak jarang pohon tinggi yang rubuh pun menghalangi lintasan kami dan diantara panjangnya lintasan jalur di semua pos, tanjakan seruni ini memiliki jalur terpanjang untuk menuju pos selanjutnya ketimbang jalur sebelumnya dipos yang lain. Ditambah cahaya mentari disini terkadang ia nampak bersinar menembus kabut dan melukiskan sinarnya pada daun-daun pepohonan yang membuat senyum simpul diwajah kami tapi sesaat kemudian ia hilang tertutup kembali kabut yang semakin pekat tapi kami tetap enggan untuk terhenti, sambil berjalan sambil kunyalakan MP3 musiku yang sengaja kudengarkan rekaman ceramah dakwah seorang Kiai Kondang sehingga tak membuatku terlalu sepi melangkahkan kaki dalam riuh pekatnya kehengingan rimba ini. Sesekali sambil bertanya kepada Ubi, gimana lanjut bi? Masih rede? Ok Lanjut tegasnya.
Pos 8 Bapa Tere – Pos 9 Batu Lingga
Dengan langkah yang semakin perlahan karena kelelahan akhirnya tiba juga kami di Pos 8 tanjakan Bapa Tere maka sesuai namanya Bapa Tere ( Ayah Tiri ) yang mengidentikan bahwa tanjakan ini akan begitu kejamnya serupa dengan seorang ayah tiri, dan betul saja setibanya kami di Pos ini pemandangan menakjubkan itu muncul didepan mataku sebagai tantangan selanjutnya, tanjakan yang nyaris tanpa kemiringan ( Tanjakan Datar ) didepan kami tersebut akan memaksa kami tentunya untuk mendaki secara Vertikal berpegangan pada akar-akar pepohonan untuk menggapai tepiannya. Beruntung mentari kembali menampakan sinarnya dan memperlihatkan belantara rimba yang berada jauh dibawah sana yang seolah memberitahukan kepada kami berpeganglah dengan erat jangan sampai kamu terjatuh kedalam jurang dibawahmu itu, Sambil beristirahat sejenak memulihkan tenaga dan fikiran, ku putarkan kembali lagu-lagu di MP3 musiku Ceramah dan Dakwah yang sebelumnya diputar kini berganti menjadi nada-nada irama-irama syahdu untuk membuatku ikut bersiul dan melantunkan lisanku berirama sesuai tembang-tembangnya, tentunya sambil menikmati nyanyian indah burung-burung yang bersiul menyambut kami, betapa menakjubkan dan indahnya karena inilah hadiah pemberian dari sang alam untuk kami. Perlahan kamipun terus berjalan untuk menuju pos selanjutnya, terkadang terbesit dalam hati kecil berkata untuk ingin cepat sampai
Pos 9 Batu Lingga – Pos 10 Sangga Buana Bawah
Disela perjalanan melanjutkan pendakian menuju Pos selanjutnya yakni pos Batu Lingga maka tantangan lain itupun kini muncul yakni hujan gerimis perlahan disela perjalanan kami menuju pos Batu Lingga memaksa kami untuk bersiap menggunakan alat pakaian pelindung hujan, sembari tetap berjalan dan sesekali beristirahat dan memakan roti, sungguh suasana kini menjadi semakin hening dan sepi sebab ya memang maklum saja dimusim penghujan dan cuaca yang tidak menentu dibulan ini, akan menyulitkan kami untuk setidaknya bertemu dan bercengkrama dengan sesama para pendaki, hujan rintikpun terkadang ia terhenti dan setelah lama iapun kembali begitu seterusnya sampai pada ditengah perjalanan kami harus total terhenti karena sepertinya hujan badai itu kini menghampiri kami, dicelah-celah jalur terjal kami membuat bivak sementara dari Plesit plastik yang kubentangkan dan ku ikat diantara pepohonan sembari berteduh dan menghangatkan badan menunggu hujan badai ini reda.Sembari membuat teh hangat untuk menghangatkan badan disini kami barulah akhirnya berjumpa dengan tiga orang kawanan pendaki, akhirnya ada orang juga tuturku hehe, maklum dibelantara rimba seperti ini berjumpa kawanan manusia merupakan hal yang jarang untuk ditemui terutama maksudku di bulan dengan cuaca yg tak menentu seperti ini yang tak jarang untuk mengendurkan minat mendaki seperti ini. Setelah berpapasan di rumah bivak kami mereka memberikan senyum dan menyapa dengan nada peringatan Kang Kade Diluhur Badaina Ageung Pisan Ati-Ati ( Kawan, Hati-hati diatas sana badainya sangat kencang ). Ok Trims Broo tuturku. Mereka adalah sekawanan pendaki yang hendak turun, setelah itu merekapun perlahan menghilang dan pergi, lama tak kunjung henti akhirnya rumah bivak sementara kami dilanda banjir hehe karena jalur mengalirkan aliran air ketempat kami maka kami memutuskan untuk terus bergegas pergi dari pada berdiam diri ditempat ini, kebetulan meskipun hujan tak henti namun angin sudah tidak cukup kencang berlari-lari maka kuputuskan untuk kita lanjut pergi, dan Alhamdulillah Hujan Badaipun kini terhenti dan disela waktu karena waktu telah menunjukan hampir pukul 02.00 siang kamipun bergegas menunaikan ibadah sholat dzuhur ditempat yang seadanya dengan keadaan yang seadanya, setelah itu kamipun melanjutkan perjalanan kembali akhirnya tibalah kami di Pos Batu Lingga dimana konon dahulu ditempat ini terdapat sebuah batu yang cukup besar yang dikatakan oleh warga sekitar dimana diatas batu ini salah seorang penyebar agama islam atau lebih tepatnya Sunan Gunung Djati Memberikan Dakwahnya dan menyebarkan syiar-syiar islam. Dan Alhamdulillah hujanpun kini terhenti.
Setibanya kami di Pos Batu Lingga maka tak berlama-lama kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya yakni pos Sangga Buana Bawah karena tempat yang dituju masihlah cukup jauh dimana waktu telah menunjukan pukul 03.00 sore, berjalan perlahan dengan sisa-sisa stamina kami yang sudah terkuras habis dihantam tanjakan-tanjakan terjal tanpa toleransi maka dengan perlahan kamipun terus berjalan melanjutkan perjalanan namun ditengah perjalanan menuju pos sangga buana bawah tersebut kami harus kembali terhenti karena kini badai itu kembali lagi menghampiri, kini hujan semakin deras menimpa kami, angin kencang semakin keras menerpa kami, ditambah ada satu situasi lain yang semakin memperburuk kondisi kami disini yakni petir yang begitu kencangnya bergemuruh tepat berada diatas kami, disini pohon-pohon besar itu sudah tidak terlalu tertutup rapat karena kami kini sudah berada ditempat yang sudah begitu cukup tinggi, jarak antara pepohonan itu kini mulai terbuka lebar dan itu menjadi perasaan yang cukup menghantui dikala terjangan badai dan petir menempa kami ditempat setinggi ini, kamipun membuka kembali Plesit untuk membuat kembali bivak sementara sambil aku terus memandangi pohon-pohon tinggi diatasku. Sesekali kami mengobrol untuk menepis kedinginan kami, meskipun gemuruh petir terus menghantui. Sampai halnya lama ia tak kunjung henti dan waktu telah menunjukan sekitar pukul 04.30 sore maka aku dan ubi memutuskan untuk turun kembali mencari tempat yang agak rindang untuk kami membuka tenda menghangatkan diri dan berlindung dari gemuruh petir ini, juga tak lupa karena kami masih memiliki kewajiban yang belum dipenuhi yakni sholat ashar, kami kembali berjalan turun sedikit dan menemukan tempat yang cukup rindang untuk berlidung dan tempat yang tepat untuk mendirikan tenda maka ditengah guyuran hujan kamipun langsung mendirikan tenda, setelah tenda berdiri kami langsung menghangatkan diri menyeduh secangkir kopi lalu melaksanakan sholat ashar, sambil menunggu hujan terhenti.
Disini nampaknya fisik dan mental kawanku ubi sudah mencapai batasnya ia menjadi pesimis untuk terus dapat melanjutkan perjalanan menggapai puncak mengingat resiko jelas akan semakin besar menimpa kami jika kami berjalan ketempat yang semakin tinggi ditengah terjangan badai seperti ini !! namun jika terhenti disini maka untuk dilanjutkan esok hari pun itu terlalu membebani fisik kami sebab boleh dikata dari pos batu lingga / sangga buana bawah saja menuju puncak masihlah sangat jauh masih ada dua pos lagi yang musti kami lewati !! terlebih bahkan hingga saat ini kamipun masih belum sampai menuju pos sangga buana bawah baru setengah jalan dan terus selalu lama terhenti karena terjebak badai ini, mengingat juga esok (Hari Minggu) adalah hari terakhir kami disini mengingat stok persediaan air dan logistik kami yang semakin menipis !! esok saja masih ada perjalanan pulang (Turun Gunung) yang pasti akan menguras habis fisik dan stamina kami,, sehingga memang terlalu membebani terutama estimasi waktu yang tidak akan memadai jika kami harus melanjutkan perjalanan esok menuju puncak dari tempat yang masih sejauh ini dan kemudian harus melanjutkan untuk turun kembali.
Aku pun menjadi cukup pesimis untuk dapat menggapai puncak tertinggi jawa barat ini, lelahnya berjalan hingga bisa sampai ditempat yang sudah sejauh ini bahkan boleh dikata sudah cukup dekat untuk meraih puncak tertinggi, haruskah terhenti hanya sampai disini? beratnya beban bawaan kami, jauhnya langkah dan perjuangan hingga bisa sampai disini, haruskah terhenti disini? rogoh kocek uang saku kami untuk sampai disini haruskah terhenti sampai disini?? Pertanyaan itu terus bermunculan dalam benak dan menyerang secara bertubi-tubi, Namun inilah
”EGO” seorang manusia yang tak akan pernah mengerti bahwa alam liar adalah seseorang yang tak akan pernah memberikan toleransi, meskipun kamu adalah seorang pemberani, meskipun kamu adalah seorang pejuang sejati, meskipun tekad semangat dan pantang menyerah kamu miliki !! Namun jika
MAUT adalah sebuah harga mati untuk pencapaian ego”mu menggapai puncak ini, maka apalah artinya seorang pemberani, artinya seorang pejuang sejati ataupun seorang yang memiliki tekad sekuat besi jika ia tak bisa mengalahkan EGO” nya sendiri, sebab alam bukanlah sesuatu yang bisa kamu taklukan disini, hingga kamu mengerti bahwa disini kamu hanya sedang belajar untuk mengalahkan EGO”mu ”
MENGALAHKAN DIRIMU SENDIRI” itulah harga mati dari semua perjuanganmu hingga detik ini.
Akhirnya dengan berberat hati mengalahkan keegoisan diri, menepis benang merah antara kata tekad dan nekat hingga awalnya kami putuskan saja untuk mencukupkan perjalanan kami sampai disini mengingat puncak hanyalah bonus bagi perjalanan kami sementara target kami yang sebenaranya adalah pulang kembali kerumah masing-masing dengan selamat, sebab tak akan lari puncak ingin kau pijaki, ya puncak ciremai tak akan berlari kemana-mana ia masih akan terus berada disini, dan karena Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal baik menurut Alloh bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk dalam pandangan Alloh bagimu, suatu rissalah untuk menguatkan keputusanku ini bahwa Lahaula, wallakuata illabillahilalililadziem, kami ini tiada daya dan tiada upaya wahai rabb. Jika terhenti disini inilah yang terbaik bagi kami maka biarkan kami kuat untuk menerimanya dan semoga dilain kesempatan kami bisa singgah kemari lagi kesini untuk menuntaskan hasrat yang belum terobati itu tuturku sambil berbaring dan berbincang didalam tenda bersama Ubi.
Namun lama berselang ketika waktu menunjukan pukul 05.00 sore badaipun terhenti, hanya rintik hujan gerimis yang menemani maka semangat Ubi pun kembali, walaupun sebenarnya aku sudah berada di Posisi yang Pewe dengan berbaring dan menyelimuti diriku sendiri, dan memang sudah ogah-ogahan untuk melanjutkan perjalanan ini, namun Ubi kembali bersemangat, dan berkata bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan kita ini sedikit lagi, dan langsung kutepis, apa kamu siap dengan resikonya bi? resiko jika kita bermalam ditempat yang lebih tinggi dari ini sebab bisa saja badai datang kembali tanpa permisi? namun aku dan ubi pun merasakan bahwa temperatur suhu udara dan kecepatan angin kini sudah mulai beranjak normal sehingga kami perkirakan tidak akan terjadi lagi badai malam nanti, lagipula kita telah berusaha untuk tidak melawan kehendak alam dengan kita berlindung disini maka tak ada salahnya untuk kita mencoba berusaha kembali melangkah selangkah demi selangkah, toh jika akhirnya kemungkinan terburuk yang akan muncul setidaknya kita bukanlah seorang yang nekat, meskipun aku berfikir dua kali untuk melanjutkan perjalanan bukan karena aku takut tapi karena posisiku saat ini memang sudah pewe dan malas untuk berdiri apalagi untuk bongkar kembali tenda dan packing kembali carrier, lebih baik besok saja pikirku dalam hati kita maksimalkan seluruh kekuatan untuk meneruskan sisa dan melanjutkan perjalanan pulang. Namun ku fikir rasa malas dan enggan untuk beranjak inipun merupakan rasa KEEGOISANKU bukankah disini aku sedang belajar untuk mengalahkan semua sikap buruk dari dalam diriku sendiri, maka akupun bersemangat megalahkan diriku sendiri lalu kemudian merapihkan tenda, packing kembali ransel carrierku dan melanjutkan sedikit lagi perjalanan menuju pos selanjutnya yaitu Pos Sangga Buana Bawah.
Pos 10 Sangga Buana Bawah – Pos 11 Sangga Buana Atas
Alhamdulillah tak henti-hentinya kami berucap syukur karena ternyata Alloh masih menghendaki sisa kekuatan kami untuk bisa terus melangkah lebih tinggi untuk memijakan kami ditempat yang lebih tinggi, dengan cuaca yang nampak akan bersahabat, mengingatkanku kepada lagu Alm Chrisye Badai Pasti Berlalu hehe, dan sampai jugalah kami setelah berjalan kembali secara perlahan di Pos Sangga Buana Bawah dan tak berfikir panjang karena kami sudah membuang banyak waktu untuk beristirahat selama terjebak badai barusan maka kami melanjutkan lagi sedikit perjalanan kami dengan tubuh yang merasakan kembali rasanya dihajar oleh batuan-batuan terjal demi mengantarkan kami menuju kepada pos selanjutnya yakni pos sangga buana atas, kami menargetkan untuk membuka tenda kembali disini agar perjalanan kami untuk menuju puncak esok tidak akan terlalu jauh dan tidak akan memakan banyak waktu sebab kami perkirakan pos sangga buana atas ini masih merupakan tempat tertutup yang merupakan batas akhir dari vegetasi hutan menuju vegetasi batas tumbuhan didaerah atas yang jelas kontur tumbuhannya biasanya lebih pendek sehingga cenderung lebih terbuka, walaupun hari sudah semakin gelap dan gemuruh petir masih terdengar tapi dikejauhan sana kami terus berjalan secara perlahan hingga mengantarkan kami menuju titik akhir sebelum mencapai Pos Sangga Buana Atas, setelelah menemukan tempat yang lumayan nyaman untuk mendirikan tenda kami segera mendirikan tenda kemudian kembali menghangatkan badan sambil sholat maghrib kemudian tak lama kemudian waktupun menunjukan untuk kami segera sholat kembali menunaikan ibadah sholat isya, dan setelahnya kami makan besar untuk memulihkan tenaga kami yang terkuras habis sambil ditemani beberapa lagu, dan sambil bercerita ria sepanjang malam, disini ubi begitu merasa terharu sebab betapa dia sungguh merasakan pengorbanan, perjuangannya untuk sampai disini, betapa badai yang merontokan fisik dan mentalnya namun sebagai tim kita tetap bisa saling mensuport satu sama lain saling mengingatkan dan ketika cela kesempatan untuk berjuang kembali itu muncul kita sama-sama beranjak kembali. Hingga malampun melelapkan kami jiwa-jiwa yang terlelah ini.
Minggu 10 Februari 2013
Pos 11 Sangga Buana Atas – Pos 12 Pengasinan
Pagi menjelang walaupun semalam aku memang kesulitan untuk terpejam karena cuaca dingin ditambah pakaian dan celana yang sedikit basah karena sisa hujan kemarin. Namun kini pukul 05.00 setelah usai melaksanakan sholat shubuh dan sedikit sarapan pagi dengan mengkonsumsi Roti maka kami putuskan untuk meninggalkan tenda, serta tas dan barang bawaan kami disini, untuk mempermudah dan mempercepat langkah kami menuju puncak, sebab masih ada satu pos lagi yakni pengasinan sebagai pos terakhir sebelum pendakian terakhir menuju titik tertinggi gunung ciremai, meskipun pagi ini ada satu penyesalan yang timbul sebab alangkah lebih baiknya jika kita bisa tiba dipuncak pada pukul 05.30 pagi agar bisa menikmati sunrise dari puncak gunung ciremai, tapi apa daya kelelahan yang tinggi memaksa kami untuk terus terpejam saat itu hingga kami memulai kembali pendakian saat pukul 06.30 pagi. Kini kontur track tetap terjal seperti biasanya namun hanya berubah sebab kini kami talah sampai dibatas vegetasi dimana kini jalanan berubah menjadi jalanan batu-batu cadas yang begitu terjal, namun karena kami berjalan tanpa beban maka kami mampu melangkah sedikit lebih cepat sehingga 5 menit kami berjalan kami sudah tiba kembali di Pos Sangga Buana Atas dan terus melanjutkan pendakian menyusuri jalur yang jelas terbentuk karena bekas aliran Lava ini, jalur berbatu dengan kontur tanah yang telah berubah menjadi kerikil pasir sebagai tanda perubahan dari batas vegetasi dan ditambah vegetasi pepohonan tinggipun mulai semakin menghilang sehingga pemandangan mulai semakin samar terlihat dan mentaripun mengiringi langkah kaki kami dengan bersinar cerahnya, dikarenakan sudah tidak ada lagi pepohonan yang melindungi kami maka meskipun ini adalah sinar mentari pagi namun sangat begitu terasa menghangatkan kami yang sudah berhari-hari kedinginan diatas gunung ini hehe tak lama dan tanpa banyak beristirahat dengan metode pendakian GPRS ( Gas Pool Rem Sedikit ) akhirnya kami tiba di Pos Terakhir Yakni Pengasinan
Pos 12 Pengasinan – Puncak Sunan Mataram (Top Ciremai 3078mdpl)
Setibanya kami dipos pengasinan kami langsung disambut dengan taman bunga legendaris edelweish yang masih kuncup, menandakan bahwa kami sudah semakin dekat untuk menggapai titik tertinggi gunung ciremai ini, dan hari ini kami akan menjadi orang tertinggi di jawa barat ini hehe, tak lupa ritual wajib narsis kami berfoto-foto merayakan kebahagiaan ini dimana didepan mata kerucut puncak yang masih menjulang tinggi kini tanpa tersamarkan lagi terpampang jelas dihadapan kami, maka tak berlama-lama kamipun langsung bergegas melanjutkan kembali pendakian ini dengan menyusuri terjalnya lintasan berbatu dan tak jarang kami mimipir lintasan yang tertimbun longsoran batu, dengan semangat menggebu perlahan kami terus memijakan kaki ini semakin tinggi dan lebih tinggi hingga sampailah kami pada titik perjuangan semua keringat kami selama ini, semua pengorbanan dan perjuangan akhirnya terbayar sudah dengan menyaksikan kemegahan kawah gunung tertinggi di jawa barat ini ciremai, bersujud syukur hingga tak terasa mata ini pun meneteskan air mata karena begitu takjub akan kemahabesarannya dan kemaha kasih dan sayangnya yang telah melindungi kami hingga kami bisa tiba dan merasakan kekerdilan diri ini selama ini juga melihat kemahabesarannya diatas sini secara langsung wahai rabb maka nikmatmu yang mana lagi yang musti kami dustakan.Setelah sebelumnya sempat berputus asa untuk bisa memijakan kaki hingga ditempat ini, setelah semua terpaan hujan badai bahkan hingga petir namun merekalah cerita yang mengantarkan penaku untuk menuliskan sebuah kisah suka dan duka dalam perjalanan menggapai atap jawa barat puncak tertinggi sunan mataram gunung ciremai 3078mdpl. Maka Nikmatmana lagi yang akan kamu dustakan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...