Sejarah Polhut
a. Sebelum Masa Pendudukan Belanda (sebelum 1592)
Pada masa ini, seseorang yang melaksanakan tugas, fungsi dan kepolisian khusus dalam bidang kehutanan pada masa lalu belum miliki nama/istilah tersendiri. Namun, tugas, fungsi dan kewenangan tersebut tergambar dan tersirat dalam kaidah-kaidah hukum adat dan kearifan tradisional dalam perlindungan alam yang dilakukan secara turun-temurun dan sebagian besar masih ada/dilakukan sampai sekarang ini. Dibawah ini disampaikan beberapa kearifan lokal disamping kearifan-kearifan lainnya yang ada di Indonesia diantaranya:
– Wewengkon Desa.
Wewengkon Desa adalah wilayah yang diberikan penguasa (raja/Sultan) kepada Demang atau bekel dan rakyatnya termasuk kawasan hutan bagi mereka. Perluasan pemukiman atau lahan pertanian di luar wewengkon desa harus mendapat ijin dari raja/sultan atau pejabat yang ditunjuk. Rakyat desa tidak dapat memanfaatkan wewengkon desa lainnya. Meskipun demikian Raja dapat memerintahkan kepada rakyat tertentu untuk menebang kayu di hutan yang ditetapkan termasuk wewengkon desa lain.
– Khepong Damar Masyarakat Krui Lampung Barat.
Khepong Damar adalah kebun campuran dengan dominasi jenis tanaman damar. Khepong Damar terletak di dataran tinggi dan pada bagian lembahnya, yaitu bagian yang datar, terdapat hamparan sawah, aliran irigasi untuk kepentingan sawah dan budi daya ikan air tawar. Konsukuensinya meminimalisasi interaksi ekonomis masyarakat Krui dengan kawasan hutan yang berdampak terhadap kerusakan hutan.
– Hutan Adat Suku Talang Mamak di Riau.
Hutan adat yang ada diwilayah suku Talang Mamak dibagi menjadi 2 bagian yaitu: dua Rimba Biasa dan Rimba Puaka atau Puhun. Rimba Puaka merupakan hutan yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan komersial → Setara dengan Hutan Konservasi saat ini. Masyarakat hanya dapat memanfaatkan Rimba Biasa untuk perladangan dan pengambilan hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu.
– Hutan Adat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.
Dalam pembukaan ladang, disamping mempertimbangkan aspek magis, Masyarakat Benuaq mempertimbangkan aspek-aspek fisik yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan kondisi mikrolimat lainnya.
Orang Benuaq menyakini adanya hubungan timbal balik antara lingkungan, manusia dan Yang Maha Kuasa. Sehingga masyarakat Benuaq tidak berani melakukan pemanfaatan sumber daya hutan secara ekploitatif dan ekstraktif. Mereka hanya memanfaatkan hutan sebatas untuk kepentingan hidup.
-. Perlindungan hutan dan sumber air masyarakat Mandailing Natal di Kabupaten Mandailing Natal-Sumatera Utara.
Secara tradisional masyarakat Mandailing Natal telah melindungi hutan alam dan sumber air serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana, misalnya melalui tata cara; lubuk larangan, penataan ruang banua/huta, tempat keramat ‘naborgo-borgo’ atau ‘harangan rarangan’ (hutan larangan) yang tidak boleh diganggu dan dirusak. Dalam pandangan hidup masyarakat Mandailing, air merupakan ‘mata air kehidupan’ yang bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis, sehingga harus dilindungi keberadaannya. Kearifan lokal ini masih bertahan sampai saat ini.
Di Jawa Tengah, sampai saat ini masih dikenal sebutan Jogo boyo bagi anggota masyarakat tertentu. Namun hal ini tidak spesifik kepada penjaga hutan tetapi pada arti yang lebih luas, yaitu: penjaga bahaya.
b. Masa Pendudukan Belanda (1592-Maret 1942)
Pada masa awal pendudukan belanda di Indonesia telah dikenal sebutan Pengalasan, yaitu seseorang yang memiliki tugas mengawal hutan.
Sekitar tahun 1620 tercatat 2 hal penting lainnya yaitu:
1. adanya larangan menebang kayu tanpa ijin,
2. dikenal sebutan Boswaker yang bertugas untuk:
– Membantu mandor keamanan hutan.
– Menjaga hutan.
Pada tahun 1870 telah diterbitkan Peraturan Agraria untuk menentukan batas kawasan hutan dan tahun 1880 ditindak lanjuti dengan pembentukan Organisasi Polisi Kehutanan (Boschwacter) yang bertugas mengawasi pelanggaran batas hutan yang telah ditetapkan. Pada tahun 1892, DR. S.H. Koorders sebagai Ketua Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda menyarankan penyelenggaraan Kursus Sinder Kehutanan.
Tahun 1908 dibuka kursus pertama Sinder Kehutanan yang tergabung pada Opleidings Cursus Voor tuin–en Candbouw (Kursus pendidikan kultikultura dan pertanian) di Bogor. Tahun 1912 diganti dengan sekolah yang mendidik pemuda-pemuda lulusan sekolah dasar untuk menjadi tingkat sinder di bidang pertanian dan kehutanan, yaitu Cultuurschool (Sekolah Pertanian Menengah) di Bogor yang merupakan lembaga pendidikan yang jurusannya kehutanan ditugaskan menghasilkan kepala-kepala resort pada jawatan Kehutanan.
Bosordonantie Java & Madura tahun 1927, pasal 15 menetapkan bahwa tugas kewajiban memperlindungi hutan diserahkan kepada ” pegawai pengelola hutan ”, dan lebih khusus lagi dalam ayat (2) ditetapkan bahwa ”Terutama pegawai pengelola MANTRI POLISI KEHUTANAN dan BOSWACHTER, yang harus mengerjakan kepolisian dan mencari kejadian yang dapat dihukum yang berhubungan dengan hutan negara”.
Aparat Kehutanan berdasarkan Ordonansi tersebut mempunyai tugas kewajiban melindungi dan mengamankan hutan dalam wilayah kekuasaannya ialah :
– Kepala Kehutanan Daerah/Kepala Daerah Hutan/Kepala Kesatuan Pemangkuhan Hutan/Administratur Perhutani.
– Kepala Bagian Daerah Hutan/Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuhan Hutan/Asisten Perhutani.
– Kepala Resort Polisi Hutan/Kepala Resort Polisi Kring.
– Boswachter/Dubalang/Waker Polisi Hutan.
Pada tahun 1941, Sekolah Polisi Kehutanan pertama didirikan di Madiun.
c. Masa Pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945)
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang, selanjutnya 2 (dua) sekolah kehutanan di Zaman Pemerintahan Belanda, yaitu Middelbare Bosbourschool (MBS) dan Sekolah Polisi Kehutanan (SPK) yang berlokasi di Madiun ditutup dan didirikan kembali pada bulan Oktober 1943 dengan nama “Sinrin Keisatu Gaklo” untuk mendidik Mantri Polisi Kehutanan, yang berasal dari pejabat Penjaga Hutan (Boswacher) atau Juru Kehutanan (Mandor Kehutanan).
Salah satu kegiatan yang amat menonjol pada masa pendidikan Jepang adalah latihan kemiliteran yang dikeluarkan kepada pemuda Indonesia.
d. Masa Kemerdekaan sampai sekarang (1945-sekarang)
Dalam Dasa Warsa tahun 1960 Direktur I Perhutani Jawa Tengah (sekarang Perum. Perhutani Unit I Jawa tengah) bersama-sama Komandan Inspeksi Kepolisian 94 Pati memandang perlu untuk dibentuk Polisi Chusus Kehutanan (PCK) yang bersifat mobile melalui pendidikan dan latihan dasar kepolisian. Pembentukan pertama-tama ditujukan untuk mengatasi serta menaggulangi gangguan keamanan hutan jati dalam wilayah Eks. Keresidenan Pati Jawa Tengah.
Pendidikan dan latihan (Diklat) Polisi Khusus Kehutanan Mobile Angkatan Pertama dengan kekuatan 147 orang. Peresmian pelantikannya dilakukan oleh Menteri Pertanian Mayor Jenderal TNI Soetjipto SH. pada tanggal 21 Desember 1966 di Alun-alun Pati Jawa tengah.
Tugas Pokok Polisi Khusus Kehutanan yang kemudian disingkat Pol. Hutan meliputi:
– Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan.
– Menjaga kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh pembuatan manusia dan ternak, kebakaran, hama dan penyakit serta gangguan alam lainnya.
Diselenggarakan dengan jalan :
– Mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh alam, hama dan penyakit.
– Mencegah dan memberantas kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan terhadap hutan dan hasil hutan.
Terdapat beberapa kebijakan yang berhubungan dengan Kepolisian Khusus, yaitu:
– Surat Keputusan Presiden Nomor 372 tahun 1962 tentang Alat-alat Kepolisian Khusus dari Instansi/Jawatan Sipil yang oleh atau Undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan tugas-tugas Kepolisian dibidangnya masing-masing.
– Instruksi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Nomor Pol, 40/Instr/MK/1964 tanggal 25 Agustus 1964 tentang Pembinaan dan Tata Laksana Koordinasi/Pengawasan Alat-alat/Badan-badan Kepolisian Khusus.
– Instruksi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Nomor Pol. 117/Instr/KM/1965 tanggal 8 Desember 1965 tentang Pedoman Pembinaan dan Penggunaan Alat-alat Kepolisian Khusus.
– Keputusan Bersama Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian dan Menteri Pertanian Nomor Pol. 137/SK/MK/1966
6/MP/1966 tentang Pengamanan Hutan (segala kegiatan dan usaha pengamanan kehutanan diselenggarakan oleh Organisasi POLISI KHUSUS KEHUTANAN disingkat POL. HUTAN).
– Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 194/Kpts/Um/3/1982 tanggal 27 Maret 1982 tentang Polisi Khusus Kehutanan untuk seluruh Wilayah Indonesia, dengan perbedaan yang tegas antara Polisi Khusus Kehutanan Teritorial dan Polisi Khusus Kehutanan Mobil (yang saat ini berlaku dilingkungan Perum Perhutani).
– Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 471/Kpts-II/1988 tanggal 30 September 1988 tentang Pemberian/Penggunaan Nama/Istilah Bagi Alat-alat Kepolisian Khusus Kehutanan dengan nama JAGAWANA.
– Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 378/Kpts-V/1999 tanggal 28 Mei 1999 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 471/Kpts-II/1988 tentang Pemberian/Penggunaan Nama/ Istilah Bagi Alat-alat Kepolisian Khusus dengan nama Jagawana diganti dengan nama/istilah POLISI KEHUTANAN atau disingkat POLHUT.
Dari beberapa peraturan dan kebijakan sebagaimana tersebut diatas setidaknya dapat diketahui sejarah perubahan nama Polisi Kehutanan (Polhut) yang kita kenal saat ini, yaitu:
1. Polisi Chusus Kehutanan, disingkat PCK;
2. Polisi Khusus Kehutanan, disingkat Pol. Hutan;
3. Jagawana; dan
4. Polisi Kehutanan, disingkat Polhut.
sumber : http://bocahrezeh.blogspot.com