From Zero to Hero : “Menengok Alih Profesi Perambah Hutan menjadi Pelaku Wisata Alam”

11150775_10202793602721168_8297557105053756672_n

Sejarah

Sebelum tahun 2004 pengelolaan gunung ciremai berstatus sebagai hutan lindung dan hutan produksi terbatas dibawah kewenangan Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Kuningan dan KPH Majalengka. Perum Perhutani menerapkan sistem tebang, tanam dan sadap pada kawasan hutan produksi terbatas dengan pohon Pinus (Pinus merkusii) sebagai objeknya. Penebangan dan penanaman dilakukan dengan periode tertentu. Sedangkan penyadapan getah dilakukan pada pinus yang dianggap memenuhi kriteria.

Untuk menjamin kelestarian penanaman pinus, Perum Perhutani menerapkan sistem tumpang sari dengan bekerjasama dengan masyarakat dalam wadah program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Pada beberapa blok program tersebut menuai hasil memuaskan. Namun di beberapa blok lainnya mengalami kegagalan. Kegagalan ini diakibatkan oleh ‘tangan nakal’ yang bertingkah seperti pagar makan tanaman.

1

Sistem tumpang sari membuka ruang bagi tangan jahil untuk berbuat yang tidak semestinya. Pada umumnya sistem tumpang sari berupa penanaman palawija dibawah tegakan pinus. Batas waktu tumpang sari adalah ketika tegakan pinus menghalangi sinar matahari menembus dasar tegakan. Semakin tinggi dan rapat tegakan pinus maka berakhirlah sistem tumpang sari itu. Untuk mensiasatinya para tangan jahil memangkas dahan-dahan pinus supaya sinat matahari terus ada. Bahkan ada yang tega menebang pinus demi dapat terus melakukan tumpang sari.

Ulah tersebut mengakibatkan hilangnya vegetasi dan kerugian finansial produksi. Lalu terciptalah Savana. Kemarau datang dan terjadilah kebakaran hutan hebat.

Setelah tahun 2004 gunung ciremai berubah fungsi dan statusnya menjadi taman nasional dengan kewenangan pada Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Balai TNGC berkomitkem menegakkan kedaulatan hukum kehutanan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan kemurkaan disegala elemen masyarakat termasuk unsur pemerintah setempat karena dituding menutup akses masyarakat ke dalam kawasan yang diramalkan akan menyengsarakan masyarakat. Padahal seketat apapun aturan, tentunya ada celah yang bisa ditembus dengan jalan yang benar. Balai TNGC sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak mungkin menebarkan benih kemiskinan. Justru sebaliknya Balai TNGC berkomitmen untuk mensejahterakan masyarakat melalui pemberdayaan.

Menyikapi kondisi diatas, Balai TNGC memutar otak untuk mencari jalan keluarnya lantas diketemukanlah kebijakan alih profesi dari perambah hutan menjadi Pelaku Wisata Alam. Memang pada pengelolaan oleh Perum Perhutani juga telah ada Wana Wisata, namun dinilai belum optimal melibatkan masyarakat.

Program alih profesi tersebut digadangkan sebagai jalan keluar paling jitu. Progam ini sering disebut Pemberdayaan masyarakat yang diantaranya berupa Ternak Domba, Pelatihan Kerajinan Tangan & Aneka Makanan Ringan, Budidaya Lebah Madu dan Pelaku Wisata Alam.

2

Balai TNGC juga melakukan koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait untuk bersama-sama mengusung program pemberdayaan masyarakat tersebut sebagai jalan keluar terbaik.

Diantara program pemberdayaan itu, belum membuahkan hasil yang sesuai harapan kecuali Pelaku Wisata Alam.

Kini

1 dekade terlewati, program pemberdayaan masyakat berupa alih profesi dari perambah hutan menjadi pengelola wisata alam mulai menunjukan tajinya. Pembangunan sarana dan prasarana pada beberapa ODTWA (Obyek Daya Tarik Wisata Alam) menambah gairah para pelaku wisata. Masyarakat pelaku wisata alam tergabung dalam kelompok MPGC (Mitra Pendakian Gunung Ciremai).

DSCN5632

Peningkatan jumlah pengunjung ODTWA di Kawasan TNGC dari tahun ke tahun dapat dijadikan indikator keberhasilan alih profesi dari perambah hutan menjadi pelaku wisata. Senyum, salam dan sapa menjadi kewajiban utama para pelaku wisata serta optimalisasi pelayanan kepada pengunjung.

Ikuti Kami