Workshop Pengembangan Strategi Monitoring Populasi Macan Tutul Jawa di Taman Nasional Gunung Ciremai

WhatsApp Image 2017-12-12 at 09.19.34

*KUNINGAN*11/12/2017

Selama rentang tahun 2008 – 2017, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai telah melaksanakan kegiatan rutin berupa monitoring populasi Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di beberapa blok dalam kawasan TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai, red) yang berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar kerap dijumpai tanda-tanda kehadiran Matul (Macan Tutul, red). Menurut informasi masyarakat sekitar yang berhasil dihimpun, tanda-tanda itu diantaranya berupa cakaran pada pohon, jejak kaki pada tanah, feses dan suara auman. Kemudian informasi tersebut divalidasi dan dipasangi kamera jebakan (camera trap, red) oleh petugas PEH (Pengendali Ekosistem Hutan, red).

Monitoring populasi Macan Tutul Jawa merupakan langkah awal dari sekian banyak tahapan dalam rangka upaya konservasi satwa bertutul itu. Dibutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit pada proses pelaksanaannya.

Pada blok tertentu di kawasan TNGC, camera trap berhasil mengabadikan momen aktivitas Matul. Keberhasilan camera trap sangat tergantung dari ketepatan perkiraan lokasi, waktu, jalur lintasan, dan range (daerah jelajah).

Camera trap yang dipergunakan oleh petugas PEH tergolong cukup canggih karena mampu mengambil visualisasi Matul berupa foto dan video dengan kualitas baik sehingga hasil jepretannya dapat dianalisa secara baik pula. Cara kerja camera trap yaitu dengan mendeteksi objek yang memiliki suhu tertentu. Kemudian camera akan mengambil visualisasi lalu menyimpannya dalam memory card secara otomatis. 1 unit camera trap dapat menghasilkan ratusan visual frame pada satu kali pemasangan.

Dalam periode waktu tertentu, misalnya 1 bulan, petugas PEH akan melakukan tindakan yang diperlukan pada camera trap yaitu mengambil data, mengganti baterai atau memindahkannya ke lokasi lain. Hasil camera trap merupakan data yang sangat berharga untuk bahan analisa pertimbangan rencana kegiatan selanjutnya.

Workshop ini adalah publikasi hasil kerja keras petugas PEH selama 1 dasawarsa. Disamping memamerkan hasil kerja, workshop ini juga diharapkan dapat menghasilkan metode pengembangan strategi monitoring populasi, sharing pengetahuan dan pengalaman serta informasi lainnya mengenai Matul.

“Pada masa yang akan datang diharapakan populasi Matul di kawasan TNGC dapat berpotensi menjadi daya tarik wisata alam minat khusus dan terbatas serta menghasilkan nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar, tentunya dengan tetap mengindahkan konservasi Matul itu sendiri” ucap Mufrizal, SH, MH selaku Plh. Kepala Balai TNGC dalam sambutan pembukaan workshop.

Workshop dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 2017 bertempat di Horison Tirta Sanita Hotel, Sangkanurip yang dihadiri oleh para undangan diantaranya Balai Pelestarian Hutan Wilayah V Dishut Provinsi Jabar, staf pengajar dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan, Forum Ciremai, LSM AKAR, LSM Kanopi dan Peduli Karnivora Jawa. Total jumlah peserta sebanyak 30 0rang.

Untuk Narasumber berasal dari petugas PEH, Robi Gumilang, S.Hut yang memaparkan proses dan hasil monitoring populasi matul di kawasan TNGC. Narasumber dari Direktorat Konservasi Keanekaragam Hayati Ditjen KSDAE Kementerian LHK memaparkan regulasi dan kebijakan konservasi matul. Sedangkan narasumber dari Peduli Karnivora Jawa, Dikdik memaparkan pengalaman empiris pengamatan, penelitian dan informasi terkait lainnya tentang Matul.

“Dari hasil camera trap dapat diketahui pada periode 2008 – 2013 populasi matul di TNGC berkisar 1 – 4 ekor terdiri dari 1 ekor matul jantan dewasa, 1 ekor matul betina dewasa, 1 ekor anak matul yang belum diketahui jenis kelaminnya dan 1 ekor macan kumbang (warna hitam) yang juga belum diketahui jenis kelaminnya. Lalu pada 2014 – 2017 tidak terdapat visual frame” kata narasumber petugas PEH, Robi Gumilang, S.Hut dalam paparan materinya.

Tidak terdapatnya visualisasi matul pada periode 2014 – 2017 dapat disebabkan oleh banyak faktor. Diduga kuat Matul tidak melintas pada jalur dan area yang telah dipasang camera trap atau dapat juga Matul melintas di jalur dan area itu namun berada dibelakang kamera. Perlu diketahui bahwa camera trap yang dipergunakan oleh petugas PEH hanya menghadap ke satu arah saja.

Selain itu, petugas PEH banyak kehilangan data visual karena ada beberapa camera trap yang tidak dapat ketemukan kembali di lokasi pemasangan. Diduga ada pihak tidak bertanggungjawab yang mengambilnya sebelum petugas PEH datang. Padahal mungkin saja dalam memory card pada camera trap yang hilang tersebut terdapat visual frame Matul.

“Konservasi Matul telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal KSDAE seperti berapa populasi matul yang idealnya terdapat dalam suatu kawasan konservasi dan berapa kamera trap yang dibutuhkan untuk monitoring serta hal lainnya yang terkait” ucap narasumber Direktorat KKH.

Sementara narasumber Peduli Karnivora Jawa, Dikdik mengatakan “Selain data primer seperti foto dan video dari camera trap, data sekunder pun seperti jejak kaki, cakaran, feses dan bau dapat menjadi acuan dalam metode monitoring populasi matul. Untuk memahami karakteristik data sekunder diperlukan pelatihan, praktikum dan pengalaman di lapangan”.

Rumusan workshop disepakati oleh seluruh hadirin, diantaranya yaitu perlu dibentuk tim kerja konservasi matul yang melibatkan peran aktif masyarakat sekitar, perlu alokasi anggaran dari pemerintah dan swasta yang memadai, perlu penambahan sarana prasarana yang memadai, perlu sinergitas informasi terkait matul, dan untuk kedepannya diharapkan konservasi matul dapat meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar kawasan sebagai daya tarik wisata alam minat khusus serta terbatas sesuai dengan kearifan budaya lokal.

Dalam kehidupan masyarakat sunda yang agraris dan religius, umumnya karuhun (leluhur, red) beranggapan bahwa ada beberapa hewan yang dianggap istimewa dan memiliki sima (kekuatan magis) untuk mempengaruhi kehidupan sosial baik secara langsung maupun tidak langsung. Mungkin hal itu pula yang mendasari Matul menjadi mitos, legenda serta fabel (dongeng binatang) yang dituturkan turun temurun secara lisan oleh masyarakat sekitar gunung ciremai. Matul pula dijadikan salah satu lambang kedigjayaan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Dewasa ini dalam kehidupan bernegara, Macan Tutul Jawa diresmikan menjadi salah satu fauna identitas Provinsi Jawa Barat. Selain itu Matul merupakan salah satu satwa kunci di kawasan TNGC sekaligus menjadi satwa yang tercantum dalam logo TNGC. Sedangkan dalam kehidupan konservasi keanekaragaman hayati, Matul sebagai salah satu pemuncak rantai makananan merupakan indikator penting kelestarian kawasan TNGC dan sekitarnya. Oleh karena itu, upaya konservasi Matul di gunung ciremai harus dilakukan oleh Balai TNGC dengan peran aktif masyarakat sekitar dan seluruh stakeholder secara terintegritas.

Ikuti Kami