Abad ke 15, Sunan Gunung Jati menikahi Ong Tien Nio yang konon putri dari Yunan, Tiongkok selatan. Rakyat menyambut gembira sehingga resepsi berlangsung meriah. Secara sukarela rakyat menyumbangkan hasil bumi dan beragam pentas kesenian untuk memeriahkan pernikahan Sang Sunan.
Sebelum pernikahan itu terjadi, Kanjeng Sunan dan Putri mengalami drama cinta yang mendebarkan di negeri Tiongkok. Menurut cerita, Sunan Gunung Jati berhasil ‘menaklukan’ sayembara kaisar Tiongkok itu.
Kaisar menyuruh putrinya mengenakan bantal pada perut. Lalu Kaisar mempersilakan kepada Kanjeng Sunan untuk menebak apakah putri sedang hamil atau tidak. Lantas Sunan mengatakan, Sang Putri memang sedang hamil. Kaisar tertawa mendengar tebakan Sunan. Kemudian Sunan dibuang ke laut karena dianggap salah tebak. Namun ternyata Sunan bisa melarikan diri dan berlayar kembali ke Cirebon.
Selepas itu, Kaisar terkejut karena putrinya benar-benar sedang hamil. Sang Putri memohon kepada Kaisar untuk menyusul kekasihnya ke Jawa.
Singkat cerita, Kanjeng Sunan dan Putri bertemu dan kemudian menikah. Mereka berbulan madu di tempat romantis di kaki gunung Ciremai yakni Luragung. Saat itu Luragung yang dipimpin Ki Gedeng Luragung, bagian dari wilayah kekuasaan Kasunanan Pakungwati, Cirebon.
Istri Sunan sangat senang tinggal di Luragung. Karena selain udaranya sejuk, alamnya pun indah. Sungai jernih di antara perbukitan dan ladang huma mengingatkan panorama kampung halaman Sang Putri.
Dalam keseharian Ong Tien tak sungkan berbaur bersama masyarakat setempat dan mengesampingkan statusnya sebagai permaisuri. Sikapnya itu membuat warga senang. Oleh karenannya, kaum wanita kerap berkumpul di kediamannya untuk mendengar cerita dan belajar memasak terutama menjelang lebaran.
Selain tempe dan tahu, Ong Tien memperkenalkan penganan baru bagi warga sekitar yakni tapai. Tapai dapat dibuat dari ketan atau singkong. Namun saat itu warga Luragung lebih memilih bahan ketan karena bahan yang tersedia melimpah.
“Membuat tapai ketan itu harus bersih. Wanita yang sedang haid tak boleh membuatnya”, ungkap Kusdiyono, warga Cibeureum ‘menirukan’ ucapan Sang Putri (06/02).
Sang Putri juga mewariskan ‘pamali’, tak boleh banyak bicara saat membuat tapai agar bisa membuat tapai ketan yang enak.
Sobat, bagaimana cara membuat tapai ketan?. Pertama, cuci beras ketan sampai bersih. Lalu rendam selama kurang lebih dua jam dan tiriskan. Kedua, kukus beras ketan sampai matang, angkat dinginkan. Ketiga, taburkan ragi yang sudah dihancurkan dan diayak halus. Campur sampai benar-benar rata. Keempat, cairkan gula dengan sedikit air.
Kelima, bungkus beras ketan yang sudah dicampur ragi tadi menggunakan daun jambu air. Setiap bungkus jangan lupa beri gula yang sudah dicairkan, sekitar satu sendok makan. Keenam, diamkan tapai yang belum jadi tersebut selama kurang lebih dua hari. Usahakan simpan pada tempat yang tertutup.
Nah, setelah dua hari atau jika sudah tercium bau khas artinya tapai sudah siap dihidangkan.
Tapai ketan khas Kuningan berwarna kehijauan karena menggunakan daun katuk sebagai pewarna alami. Sedangkan pembungkusnya menggunakan daun jambu air.
Kini tapai ketan telah populer menjadi buah tangan wisatawan di sepanjang jalan Kuningan menuju Cirebon dan sebaliknya. “Supaya air tapai tidak berceceran, maka dikemas dalam ember”, ungkap Iyoh, Pengrajin tapai desa Cibeureum, Kuningan, Jawa Barat (06/02).
#sobatCiremai tapai ketan ialah camilan khas Kuningan yang tak kalah enak dengan makanan modern. Sobat pernah mencicipinya?. So, ayo datang dan nikmati kelezatannya untuk menguatkan perekonomian kuliner lokal.
[Teks © Tim Admin, Foto © Rudi & Winda – BTNGC | 022019]