Ada yang bilang, sejak zaman dulu hingga kini kita suka makan daun. Mungkin maksudnya gemar makan daun sebagai lalap dan sayur.
Realitanya memang hampir semua warga nusantara doyan makan lalap dan sayur. Apalagi lalapan yang dicolek dengan sambal. Hmm yummy!.
Ya, Sintrong atau “Crassocephalum crepidioides” adalah jenis tumbuhan anggota suku “Asteraceae”.
Tumbuhan ini biasanya ditemukan liar sebagai gulma di tepi jalan, kebun, pekarangan, lahan telantar, dan pinggir hutan pada ketinggian 200 sampai 2500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dalam bahasa Inggris, Sintrong dikenal sebagai “Ebolo”, “Hickhead”, “Redflower Ragleaf”, atau “Fireweed”.
Sedangkan di Indonesia, tumbuhan ini biasa disebut Junggul, Bagini, Jambrong, dan Tespong oleh orang Sunda. Sementara orang Jawa menyebutnya Jombloh, Mandrung-mandrung, Puyung, dan Taplek.
Nah, umumnya Sintrong tumbuh sendiri tanpa ditanam. Maksudnya biji-biji dan atau buah Sintrong menyebar dengan bantuan angin. Oleh karenanya, Sintrong dianggap tumbuhan liar.
Namun tak disangka, ternyata Sintrong punya kandungan “astringen”. Ia juga bersifat antiradang, “hemostatis”, “tonikum”, pencahar, dan “emetik” atau perangsang muntah.
Herba tumbuhan ini diyakini berkhasiat untuk mengobati demam, radang amandel, dan eksem.
Meskipun cukup banyak manfaatnya, Sintrong pun disinyalir mengandung “alkaloida pirolizidina” yang bisa memicu Tumor!.? Oleh sebab itu, disarankan tak terlalu sering mengkonsumsi Sintrong.
#sobatCiremai mari kenali, cintai, dan manfaatkan secara bijak tumbuhan sekitar kita.
[Teks © Tim Admin, Foto © IG @enjank_almunir @miftahaytssr @em.shal @laila.hasanah.m @kebununa | 112019]