Orang Sunda punya mitos dan legenda tersendiri tentang gunung yang diturunkan dari generasi ke generasi. Misalnya mitos Nyi Pelet di gunung Ciremai dan legenda Sangkuriang di gunung Tangkuban Parahu.
Mitos dan legenda tadi menunjukkan bahwa kosmologi Sunda memang sangat erat kaitannya dengan gunung.
Nah, untuk menelusuri kosmologi Sunda, salah satunya bisa kita lakukan melalui penelusuran bahasa.
Ada sebuah ungkapan dalam Sunda, “Beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang”, yang artinya, “Hasil berguru kepada gunung dan bertanya kepada Guriang”.
Istilah Guriang sendiri diyakini sebagai lelembut, siluman, dan roh gunung.
Ungkapan gunung dan Guriang bagi masyarakat Sunda lama merupakan sumber inspirasi pengetahuan, kearifan, kebaikan, dan keindahan.
Oleh karenanya masyarakat Sunda lama menghormati gunung dan hutan melalui sarana mitologis, seperti Carita Pantun, Upacara Adat, dan Pamali atau Tabu.
Contohnya karya sastra Sunda klasik yang menunjukkan pengagungan terhadap gunung adalah kisah perjalanan Bujangga Manik yang mencari ilmu ke sejumlah tempat suci di barat Jawa hingga ke timur Jawa.
Orang Sunda lama memang orang gunung. Julukan ini berasal dari orang Belanda yang menyebut orang Sunda sebagai “bergjavaans” atau Jawa Gunung pada abad 17 sampai abad 19.
Hal ini terjadi karena Kumpeni tidak bisa membedakan orang Jawa, Sunda, Betawi, Cirebon dan suku bangsa lainnya.
“Dan etnis Sunda memang menduduki tanah pegunungan dan puncak-puncaknya bertebaran seperti sedang melakukan rapat abadi. Kehidupan damai membuat Priangan seakan membuat penduduknya tidak pernah beranjak dari gunung-gunungnya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2010).
Ternyata sejak dulu kita memang dekat dengan alam sehingga semua inspirasi bersumber darinya.
#sobatCiremai, jangan sampai gunung dan bentang alam lainnya hanya didendangkan dan dikenang sebagai sumber keindahan belaka pada generasi mendatang.
So, mari jaga kelestarian lingkungan hidup sekitar kita.
[Teks & Foto © Tim Admin-BTNGC | 122019]