“Ulah Asa, Hasil Tapa Brata Ke Jogja”

 

IMG-20181126-WA0005

Istilah bahasa #Sunda, “ulah asa” artinya “jangan sok” atau sepadan dengan istilah bahasa Jawa, “ojo dumeh”. Dalam kalimat “ulah asa pang endahna”, kita bisa terjemahkan “jangan sok paling indah”.

IMG-20181126-WA0001

#sobatCiremai, dalam kurun waktu satu hingga dua tahun ke belakang, gunung Ciremai menjelma sebagai ‘kiblat’ pengelolaan taman nasional di Indonesia yang berbasis masyarakat. Ya, masyarakat ialah subjek dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Maka sebisa mungkin, setiap keputusan yang diambil mengikuti ‘kehendak rakyat’. Inilah yang disebut ‘demokrasi konservasi?’.

IMG-20181126-WA0002

Model kelola gunung Ciremai telah menciptakan harmonisasi alam dan sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini terlihat dalam pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam. Benar, manfaat ekonomis wisata membuat masyarakat ‘siuman’ atas tata kelola ekologi gunung Ciremai yang baik pula.

“Succes story” gunung Ciremai menarik minat instansi lain dari pusat, daerah dan lintas sektor untuk belajar pengelolaan taman nasional. Kini, tak kurang dari 30 instansi telah ‘sowan’ ke gunung tertinggi di Jawa bagian barat ini. Singkatnya, Ciremai sedang menikmati “hurung nangtung, siang leumpang” (masa keemasan, red).

Namun semua itu tak lantas membuat Ciremai besar kepala. Buktinya, sejak kemarin (21/11) Balai TNGC melakukan ‘tapa brata’ ke Jogja. Di sana, selama tiga hari ke depan mengulik hal baru di beberapa lokasi “mustajab”.

Joglo Tani, lokasi pertama “ngalap elmu”. Di sana terdapat kompleks kehidupan tani mulai pertanian, perikanan hingga peternakan. Ketiga bidang tadi saling keterkaitan antara satu dan lain. Contohnya, beberapa tanaman pertanian dapat menjadi pakan ternak. Kotoran ternak seperti “feses” ayam bisa menjadi pakan ikan. Sementara air bekas kolam ikan lele bisa menjadi pupuk bagi tanaman “hidroponik”.

“Tanam apa yang kita makan. Makan apa yang kita tanam”, petuah TO Suprapto, empunya Joglo Tani yang sekaligus Menteri Pertanian Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pagi itu (21/11).

Bangsal Mertani yang asri itu berpedoman pada filosofi #Jawa yang penuh makna kehidupan. Misalnya ‘Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani’ benar-benar diterapkan di tempat itu.

“Amati, tiru dan praktekan. Paling penting JOS, Jangan Omong Saja!”, pungkas darah biru keraton #Jogja itu mengakhiri wejangannya.

Siang berganti malam bertabur bintang, awan dan cahaya bulan di pantai Krakal, Gunung Kidul itu Rifqi Hadziq, motivator kondang Jogja memompa semangat. “Berprestasilah agar sobat segera berpindah posisi dari pekerjaan sobat. Visi harus keras kepala. Sementara misi boleh fleksible”, ungkap Sang Motivator.

Esok hari, di tengah sejuk dan rindang wisata Seribu Batu Songgo Langit, Bantul menyimak wejangan Purwo Harsono, Ketua Koperasi Notowono Mangunan tentang kiat mengelola wisata alam berbasis masyarakat.

“Trend selfie akan segera pudar satu hingga dua tahun ke depan. Oleh karenanya perlu mencari hal baru. Nah, sosial budaya yang dikemas menjadi wisata bisa jadi salah satu solusinya”, tutur Purwo. Ya, pendapat ‘pakar’ ini tentu perlu diperhatikan para pengelola wisata gunung Ciremai mengingat “selfie” merupakan wahana andalan mereka.

#sobatCiremai, ternyata benar di atas langit masih ada langit. Setiap wejangan yang disampaikan ‘para ahli’ negeri Mataram harus segera ditindaklanjuti “stakeholders” gunung Ciremai. Kita sadar, pengetahuan yang kita miliki hanyalah secuil dari Dzat Yang Maha Tahu. So, mari bersama belajar kebaikan hingga akhir nanti.

[teks © Kang Sirod, foto © Rudi – BTNGC | 112018]

Ikuti Kami