Biarlah Ku Cari Pakan Alamiku Sendiri


.
Orang memanggilku #monyet atau #kera. Tapi sebagian orang ada juga yang menyebutku Monyet Ekor Panjang atau “Macaca fascicularis”.
.
Aku sangat senang bermain. Saat hari cerah, aku bersama 20 sampai 30 ekor saudaraku berjalan, lari, memanjat, dan loncat di pepohonan. Terkadang juga bergelantungan di dahan bersama ‘bosku’.
.
Aku dan keluargaku hidup bisa ditemui di wisata alam bumi perkemahan (buper) Cibeureum, desa #Cibeureum, #Cilimus, #Kuningan, #JawaBarat.
.
Dalam setiap anggota kelompokku, ada dua sampai empat jantan dewasa dan selebihnya betina serta anak-anak.
.
‘Rumahku’ terpisah dari hamparan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Akibatnya, rumahku sangat berdekatan dengan pemukiman manusia.
.
Kata orang, aku satwa liar yang mampu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Iya, entah kenapa aku suka berinteraksi dengan mereka. Mungkin karena pernah ada yang bilang padaku kalau aku adalah nenek moyang mereka?.?
.
Banyak manusia yang ‘jahat’ padaku. Banyak temanku yang bernasib buruk di tangan manusia. Mereka menjadikan bangsaku tontonan sirkus atau topeng monyet dan obyek percobaan ilmiah.
.
Namun ada juga manusia yang menganggapku hewan keramat dan tak boleh diganggu.
.
Selain bermain, aku pun gemar kuliner. Pakan alami favoritku yakni buah-buahan dan berbagai jenis hewan kecil seperti ketam, serangga, dan telur. Hmm yummy!.?
.
Tapi sudah lama dan jarang sekali aku berburu mencari makananku. Karena pengunjung wisata acap memberiku makanan yang lebih enak.
.
Dari siang hingga sore, aku dan kawan-kawan mendekati jalan untuk berebut makanan dari pengunjung yang datang dan lewat depan rumahku.
.
Ku rasa, makanan dari pengunjung jauh lebih manis dari buah di hutan. Rasa gurihnya juga lebih lezat ketimbang serangga.
.
Saat menyantap makanan dari pengunjung, Polisi Kehutanan (Polhut) sering melotot padaku. Mereka mendekati pengunjung dan tampak berbincang-bincang.
.
Beberapa saat kemudian, mereka memasang plang dan spanduk. Ku baca tulisan itu berbunyi, “Dilarang memberi makan satwa liar di sini”.
.
Karena itu aku sempat merasa kesal pada Polhut. Lalu ku ajak kawan-kawan untuk menyerbu kantornya yang berada di pinggir hutan. Walhasil atapnya jebol oleh kemarahan kaumku.?
.
Sebelum tidur, aku sering memikirkan kenapa Polhut melarang pengunjung memberi makan kaum kami. Mungkin ini jawabannya.
.
Pertama, membuat perubahan perilaku. Ku akui kini aku memang malas mencari pakan alamiku. Aku lebih senang mengharapkan belas kasihan dari manusia.
.
Kedua, makanan yang diberikan manusia mengubah cara alami proses pencernaanku. Akibatnya, banyak temanku yang mencret dan sakit.
.
Ketiga, menyebabkan penyebaran penyakit. Kata orang, aku bisa menyebarkan penyakit rabies bila terlalu sering berinteraksi dengan manusia.
.
Terakhir, invasi. Sering sekali bila tak ada manusia yang memberi makan, maka kami menjarah kebun terdekat sehingga warga marah dan mengusir kami.
.
Adakah yang bisa menambahkan lagi?.
.
#sobatCiremai, aku percaya manusia, satwa, tumbuhan, dan makhluk lainnya harus hidup berdampingan sesuai kodrat alaminya. Bila ada kerusakan alam, tentu manusialah yang salah.
.
“So, mulai sekarang jangan berikan makananmu pada satwa liar. Biarkan aku dan kaumku mencari pakan alami sendiri”, gumam Kera Ekor Panjang dalam imajinasinya.
.
[Teks & foto © Tim Admin-BTNGC | 092019]

Ikuti Kami